Senin, 29 April 2013

Ketika Ikhlas Bertahta di Hati...


Siang  itu pak Hadi membelokkan sepeda motor GL Max nya ke halaman sebuah masjid di pinggir jalan. Jam di HP nya sudah menunjukkan pukul 13.40 WIB sementara dia belum melaksanakan sholat dhuhur. Setelah memarkir motornya, pak Hadi pun bergegas mengambil air wudhu. Sejuknya air kran cukup meredakan teriknya mentari yang membakar jalanan ibu kota, apalagi di bulan Ramadhan seperti sekarang ini. Orang bilang klo Ramadhan, rasanya jadi tambah panas. Ya…barangkali karena berpuasa, dan jumlah air yang dikonsumsi juga berkurang, makanya teriknya mentari membuat semakin exhausted ajja…..^_^.

Tak berlama-lama di tempat wudhu, pak Hadi segera menunaikan sholat dhuhur.  Setelah mengakhiri dzikirnya dengan sederet permohonan pada Sang Khaliq, pak Hadi berbaring di teras masjid sekedar meluruskan punggung yang sudah terasa pegel-pegel karena perjalanan melelahkan dari kantornya di bilangan pondok kelapa menuju depok, tempat tinggalnya. Sambil memejamkan mata, pak Hadi pun menikmati semilir angin dan sejuknya ubin masjid yang mulai merasuk ke tulang sumsum. Lelah karena energi yang terserap oleh panasnya cuaca siang itu sedikit terobati, berganti dengan raga yang terasa lebih segar, walau lapar dan dahaga jelas masih terasa, namanya juga lagi berpuasa….hehehee……^_^

Kesunyian dan kesejukan di teras masjid itu tiba-tiba pecah saat telinga pak Hadi menangkap isak tangis anak kecil. Kontan pak Hadi bangun dan duduk. Matanya berkeliling mencari sumber suara. Sejurus kemudian mata pak Hadi menangkap sesosok laki-laki berkoko putih mendekap erat anak laki-laki kecil yang menangis dalam gendongannya. Sementara 2 anak lainnya  diam memandangi wajah lelaki dewasa itu dengan tatap mata kosong sambil memegang ujung lengan koko putih lelaki itu. Sepertinya mereka adalah ayah dan anak. Tak tahan mendengar tangis sang bocah, pak Hadi pun bergegas menghampiri. Kalau sudah begini, yang terbayang dalam benak pak Hadi adalah kedua anaknya di rumah, yang semuanya laki-laki dan sebaya dengan mereka.

Singkat cerita, lelaki berkoko putih itu (sebut saja pak Firman) dan kedua anaknya adalah orang Sigli yang datang ke Jakarta untuk memulai usahanya dagang mie Aceh.  Namun 10  bulan di Jakarta sama sekali tak membuahkan hasil apa pun, modal mereka habis, dan saat ini mereka diusir oleh pemilik rumah petak karena sudah 5 bulan tak lagi sanggup membayar uang kontrakan. Yang lebih ngenes lagi, ibu dari ketiga anak itu (istri pak Firman) baru sebulan yang lalu meninggal karena DB yang tak sempat diobati. Lagi-lagi karena keterbatasan biaya. Innalillahi wa inna ilaihi roojiun…..Seketika itu pak Hadi merasakan tubuhnya seperti mengambang, kakinya serasa tak menyentuh ubin, lemas rasanya karena haru mendengar kisah pak Firman. “Rabb……sungguh, ternyata Engkau sangat menyayangiku. Terima kasih karena tak Kau berikan ujian padaku seberat apa yang dialami lelaki di hadapanku ini,” batin pak Hadi. Tak terasa bulir bening perlahan mengembang di sudut kedua matanya yang mulai terasa panas. 

“Saya tak tahu harus bagaimana lagi pak, saya tak punya tempat tinggal, saya tak punya sepeser uang pun untuk sekedar membelikan anak-anak minum saat mereka berbuka puasa nanti. Hari ini saja anak-anak saya hanya sahur dengan air putih” sambung pak Firman sambil menunjuk botol air mineral dalam genggaman anaknya yang masih tersisa beberapa teguk lagi. Sudah dapat ditebak, pak Hadi tentu tak tega mendengar kisah ayah anak ini. Spontan pak Hadi mengambil dompetnya dan mengeluarkan 2 lembar uang 50.000 an, lalu menyerahkannya kepada pak Firman. Binar kesyukuran jelas terpancar dari mata pak Firman sambil menjabat erat tangan lelaki dihadapannya seraya mengucapkan kata terima kasih yang disambut dengan senyum keikhlasan oleh pak Hadi. 

“Maaf pak, sebenarnya saya ingin pulang ke Aceh, tapi saya tak punya ongkos” ucap pak Firman lirih. “Apakah bapak bisa membantu saya? Saya ingin menjual HP saya ini, tapi kalau saya jual ke counter, cuma ditawar 200 ribu, padahal saya menjual HP ini agar bisa pulang ke Aceh” papar pak Firman sambil mengeluarkan sebuah HP nokia jadul 6610 nya. Masih dengan perasaan yang mengharubiru, pak Hadi bertanya “Bapak maunya HP itu dihargai berapa?”   “Ya…pokoknya asal saya bisa sampai ke kampung pak, saya akan menitipkan anak-anak ini pada neneknya di kampung. Setelah itu saya akan kembali untuk  ikut dagang nasi goreng dengan teman yang tinggal di Tanjung Priuk. 1 juta cukup lah untuk transport  kami pak…” sahut pak Firman. Sejenak pak Hadi tertegun. Namun sejurus kemudian dia merogoh kembali saku celananya dan mengambil dompetnya sambil berkata  “Begini ya pak, saya tidak berniat membeli HP bapak, saya hanya ingin membantu bapak. Ini 1 juta yang bapak butuhkan. Semoga perjalanan bapak ke kampung lancar. Bila suatu saat bapak ingin mengambil lagi HP ini, silahkan datang ke kantor saya. Ini kartu nama saya.” papar pak Hadi sambil menerima HP pak Firman dan menyerahkan uang serta kartu namanya. Pak Firman pun menyambutnya dengan wajah penuh kebahagiaan dan rasa terima kasih yang tak terhingga. Subhanallah…..kejadian yang rasanya sangat jarang terjadi dijaman seperti sekarang ini ya……

Setelah berpamitan kepada pak Firman, pak Hadi pun bergegas meninggalkan serambi masjid menuju pelataran parkir.  Ia akan segera melanjutkan perjalan pulangnya. Sore itu ia ingin sekali mengajak sang istri dan kedua anaknya ngabuburit, menunggu saat berbuka puasa sambil berwisata kuliner mencari ta’jil. Kebetulan hari itu ia baru saja menerima THR dari kantor tempatnya bekerja. Pak Hadi pun mempercepat laju GL Max nya. Sesampai di rumah, anak-anak sudah menanti dan mereka pun melewati senja dengan penuh keceriaan, dilanjutkan dengan tarawih di masjid komplek tempat tinggal pak Hadi.

Seusai tarawih dan bercengkerama bersama keluarnya,  tibalah waktu beristirahat. Kedua anak pak Hadi sudah masuk ke kamarnya. Pak Hadi dan istri pun bergegas untuk beristirahat. Seperti biasanya, pak Hadi dan istri selalu menyempatkan diri untuk saling bertukar pengalaman hari itu, sesaat menjelang tidur.  Ini adalah kebiasaan mereka, menjaga kemesraan dan keharmonisan rumah tangga dengan menjalin komunikasi yang berkualitas, walaupun dengan kuantitas yang terbatas. Pak Hadi menceritakan pengalamannya di masjid siang tadi. Diakhir cerita, pak Hadi ungkapkan kegalauan hatinya mengingat hampir separo THR yang diterima hari itu sudah diserahkan kepada pak Firman di masjid siang tadi. “Maaf ya bu, ayah sudah mengeluarkan uang tanpa meminta pendapat ibu dulu. Dalam jumlah besar lagi…..Ayah sungguh tak tega melihat anak-anak pak Firman, jelas sekali menahan lapar, apalagi mereka menjadi piatu karena belum lama ibu mereka meninggal. Kasihan sekali mereka…..Tapi bagaimana dengan rencana kita pulang ke Sukoharjo ya bu…..Ayah nggak tau harus bagaimana ini, padahal mbah putri sudah wanti-wanti meminta kita pulang, sejak sebelum Ramadhan lagi mbah putri  ngomongnya. Harus bagaimana ya bu…..” ucap pak Hadi pelan, khawatir istrinya akan marah. Namun diluar dugaan, ternyata ibu Mirna, istri pak Hadi sama sekali tidak marah. “Ya sudah lah ay…niatkan saja semuanya karena Allah, semoga saja ini jadi tambahan amal ibadah kita di bulan yang penuh berkah. Soal biaya pulang kampung ya nanti coba kita hitung ulang deh….kalau perlu kita naik kereta yang ekonomi saja, yang penting keangkut. Tapi saat mau naik keretanya ayah gendong Fadhil ya….biar Fahmi ibu yang nggandheng. Klo puasa-puasa ibu suruh nggedhong kan berat ay…..Sudah ah, kita tidur yuk….besok kesiangan lagi sahurnya” jawab bu Mirna mengakhiri pembicaraan. “Tapi bu, ayah kan kemarin juga sudah terlanjur janji sama Fadhil dan Fahmi mau belikan mereka baju koko masing-masing 2 stel. Koko mereka kan sudah belel semua, ibu lihat sendiri kan…untuk sekedar “ngekonomi” pun ayah sangsi bu….Uang kita nggak cukup klo harus buat beli baju koko juga, belum lagi oleh-oleh untuk mbah putri, pak lik dan bulik…… ” Sambung pak Hadi yang masih belum berniat menghentikan pembicaraan. “Ih….ayah ini bandel banget deh, tiii..duuurrr……” sahut bu Mirna sambil menarik selimut. Pak Hadi pun akhirnya menghentikan pembicaraannya. Disimpannya berbagai tanya yang menyeruak di benak, ke dalam lubuk sanubarinya. 

Disela  kegalauan dan kecemasan tentang kebutuhan jelang Idul Fitri, ada kesyukuran dan kebahagiaan yang tak terhingga karena ternyata istrinya begitu memahami kejadian yang baru saja dialaminya. Begitu lapangnya hati sang istri menerima segala yang terjadi tanpa rasa kesal sedikit pun, apalagi marah-marah. Padahal sederet rencana menyambut datangnya Idul Fitri sudah disusun sedemikian rupa, dan sekarang semuanya harus berubah. Alhamdulillah, ternyata pemahaman istrinya tentang makna “ikhlas” cukup bagus, kepasrahannya pada Rabb Yang Maha kaya begitu tinggi, sehingga ia mampu menyikapi qadar Nya dengan penuh kesabaran.

Demikianlah waktu terus berjalan, dan karena bu Mirna ingin dapat menyisihkan sebagian uang belanja untuk menambah anggaran pulkam mereka, maka bu Mirna pun mengerahkan segenap kemampuannya untuk memanage uang belanja sedemikian rupa sehingga dengan pengeluaran secukupnya, ia tetap mampu menyajikan menu berbuka dan makan sahur yang berkualitas untuk keluarganya. Sampai pada suatu hari, hanya beberapa hari sebelum rencana pulkam mereka, tiba-tiba bu Mirna mendapat telpon dari salah satu redaktur majalah wanita muslim yang mengabarkan bahwa beberapa tulisan bu Mirna yang pernah dikirim akan segera diterbitkan secara bertahap dalam beberapa nomor penerbitan. Dan untuk itu bu Mirna akan mendapatkan honor menulis sebesar 2 juta rupiah. Bu Mirna memang orang yang senang menulis. Berbagai artikel tentang pendidikan dan parenting sering menghias blognya. Dan beberapa waktu lalu, bu Mirna mencoba mengirimkan tulisan-tulisan tersebut ke redaktur majalah wanita Islam. Hitung-hitung mengukur kemampuannya menulis lah…..Dan Alhamdulillahnya, kali ini semua tulisannya lolos, siap naik cetak, dan honornya pun sungguh diluar dugaan.


QS. Ath Thalaq 2-3:
 “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya. Dan (Dia) memberinya rezeki dari arah tiada disangka-sangkanya”.
 Ibnu Katsir menafsirkan, ”Maknanya, barang siapa yang bertakwa kepada Allah dengan melakukan apa yang diperintah Nya dan meninggalkan apa yang dilarang Nya, niscaya Allah akan memberi jalan keluar serta rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka yakni dari arah yang tidak pernah terlintas dibenaknya.”

Subhanallah…..kita memang tak pernah tahu dari pintu yang manakah Allah akan mendatangkan rizki bagi ummat Nya. Dibalik kesempitan yang sedang kita hadapi, ternyata Allah sudah menyiapkan kelapangan yang luar biasa. 

Keikhlasan keluarga ini untuk membantu sesama, berinfaq di jalan Allah telah Allah balas dengan cara yang sangat indah. Keikhlasan pak Hadi menolong pak Firman dilakukannya tanpa pamrih, semata-mata hanya untuk beribadah dan beramal mengharap keridhoan Rabb Sang Maha Pengenggam Kehidupan. Sama sekali bukan berharap untuk dipuji, apalagi disanjung sebagai “sinterklas” atau “dewa penolong” bagi orang lain. Demikian pula dengan ibu Mirna, keikhlasannya menerima segala sesuatu yang sudah menjadi Ketetapan Allah Azza Wajalla, membuatnya tidak merasa kecewa walaupun THR sang suami harus berkurang hampir separohnya untuk orang asing yang sama sekali tidak mereka kenal sebelumnya. Seandainya kita yang mengalami hal seperti ini, mungkin akan susah bagi kita berkhusnudzon, yang ada kita akan menyangka itu hanyalah tipu-tipu dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab.  

QS Saba’: 39
“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Allah akan menggantinya dan Dia lah Pemberi rizki yang sebaik-baiknya”

Rasullullah SAW sebagaimana diriwayatkan oleh HR Muslim bersabda:
“Allah berfirman: “Wahai anak adam, berinfaklah, niscaya aku berinfak (memberi rizki) kepadamu.”

Bila selama ini belum ada keikhlasan di hati kita untuk peduli pada orang-orang disekitar kita, bila selama ini kita cenderung memilih untuk bersikap “pelit” apalagi “kikir” untuk berbagi pada sesama, mungkin sekaranglah saatnya bagi kita untuk melatih diri peduli pada lingkungan. Kepedulian yang ikhlas ini tidak selalu harus diwujudkan dalam bentuk materi, namun dapat pula berupa support, pemikiran, atau bahkan mungkin dengan tenaga. Janji Allah adalah pasti. Setiap kebaikan yang kita lakukan dengan keihlasan, hanya mengharap keridhoan Allah semata, insya Allah akan menjadi pemberat timbangan amal kebaikan kita di yaumil akhir nanti. Imam al Ghazali menegaskan, ikhlas adalah shidqun niyyah fil ‘amal. Dengan kata lain, setiap amal saleh dan kebajikan yang ingin dilakukan semestinya berorientasi karena Allah. 
Wallahu alam bissowab.



)*Salam ikhlas tuk raih ridlo Illahi.

Kamis, 18 April 2013

"Pemimpin yang Hebat" .....(Bagaimana bisa menjadi hebat????)




“Bapak ibu, saya berharap kita semua komit pada kesepakatan kita. Segala sesuatu ada aturannya dan aturan tersebut ada di SOP, ada standarnya, ada prosedurnya, jadi saya minta bapak ibu baca dan pelajari dengan baik SOP dan panduan tata kerja yang sudah bapak ibu miliki. Harapan saya sesudah ini tidak ada lagi pelanggaran apa pun, karena masing-masing dari kita sudah berjalan sesuai ketentuan yang berlaku”. Itulah kalimat yang diucapkan oleh seorang pimpinan sebuah institusi ketika menutup rapat koordinasi bulanan bersama seluruh bawahannya yang disambut dengan wajah lesu sebagian besar peserta rapat. Setelah pimpinan dan jajaran manajemen keluar dari ruang meeting, sejurus kemudian terdengar gumam tanpa beban dari sudut ruang rapat, “Klo anak buah….. ajja yang melakukan kesalahan, langsung tuh nyonya nyanyi kenceng-kenceng, padahal salahnya mah cuma gitu doang…..baca SOP ya sodare-sodare…..cape deeehh……” Celutuk ini pun disambut dengan tawa seisi ruangan. “ Ente semua musti dateng on time ye, tapi klo aye mah boleh suka-suka…..pan aye bos” sambung yang lain. Kebekuan yang terasa seusai rapat pun kini mencair seiring munculnya berbagai komentar yang disambut tawa diantara mereka. Rapat sore itu memang lebih banyak diwarnai  teguran dari sang “Bos” tentang kinerja anak buah, yang menurut sang “Bos” sarat dengan ketidaksesuaian pada aturan tata kerja yang ada. Itu menurut “Bos” sang pimpinan, namun menurut anak buah selaku karyawan……….beda lagi tentunya. Masing-masing punya bingkai pemikiran yang berbeda nampaknya. Apakah setiap pihak memandang dari kacamata kepentingannya sendiri-sendiri?????  Sehatkah kondisi kerja semacam ini?????? Lalu bagaimanakah seharusnya hubungan antara atasan dan bawahan???? Haruskah masing-masing pihak menempatkan diri sebagai pihak yang berseberangan????? 
              ******************************************************************
Pernahkah mendengar sentilan sentilun dari para karyawan yang menyindir atasan? Atau mungkin kita sendiri pernah melakukannya? Wajar…..sangatlah wajar. Mungkin kita juga tidak asing dengan guyonan seperti ini….”Pasal 1: Bos nggak pernah salah. Pasal 2: karyawan/bawahan yang melakukan pelanggaran akan diberikan SP sesuai dengan tingkat kesalahannya berdasarkan SOP yang ada. Pasal 3: klo Bos melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan SOP alias melanggar peraturan juga, silahkan lihat pasal 1”  “Makanya jadi bos, biar nggak pernah salah, nggak pernah melanggar peraturan gitu…... Klo salah kan tinggal lihat pasal 1, beres tho….……”  

Waduh….bagaimana kira-kira klo kita punya pemimpin seperti ini????  Sangat tidak enak pasti ya….. Punya atasan yang arogan, merasa diri sebagai “Pimpinan Tertinggi”, berbangga hati dengan jabatan sehingga menjadi sewenang-wenang dalam melakukan pengambilan keputusan (mengambil kebijakan tanpa dasar yang jelas), dan parahnya lagi apabila bumbu “like/dislike” pada bawahan ikut andil dalam memberikan penilaian kinerja anak buah, sehingga kinerja karyawan tidak terukur dengan standar penilaian yang jelas, dan subyektifitas menjadi lebih dominan. “If I don’t like You, I can do anything and everything, cause I’m bos….”. Apa  jadinya bila kita dipimpin oleh orang seperti ini????

Menjadi seorang pemimpin memang bukanlah hal yang mudah, tapi bukan berarti susah juga. Pada dasarnya manajemen qalbu yang baik menjadi kuncinya.  Seseorang diamanahi tugas untuk “memimpin” tentunya karena individu tersebut memiliki kemampuan lebih, dibanding orang-orang disekitarnya.  Lebih pintar dalam banyak  hal, lebih bijak, lebih sabar, lebih teliti, lebih mampu berempati pada setiap kondisi yang dihadapi karyawan, lebih rajin ibadahnya, dan segambreng lebih-lebih yang lain yang pastinya kelebihan itu adalah kelebihan yang bersifat positif. Pendeknya, mereka haruslah inidividu yang memiliki kecerdasan spiritual, emosional, dan intelektual yang lebih mantap dah…….

Mengapa demikian? 

Rasanya sangatlah wajar, karena pemimpin akan menjadi panutan dan pengayom bagi orang yang dipimpin. Bukan berarti pemimpin itu nggak boleh salah, namun setidaknya predikat sebagai “Pemimpin” yang melekat, membuat individu tersebut menjadi wajib mengatur perilaku dan harus mau terus meng-upgrade kompetensinya hingga dapat menjadi contoh yang baik bagi orang-orang yang dipimpinnya. Bagaimana mungkin seorang pimpinan mengharapkan anak buahnya melaksanakan seluruh aturan, bilamana pimpinan tak lebih dulu melakukannya. Atau, pimpinan tidak konsisten melakukan peraturan dan kebijakan yang ada???? Contoh sepele dalam kehidupan keluarga kita adalah anak yang merupakan plagiat ulung dari seluruh perilaku orang tuanya. Manalah mungkin anak kita akan makan dan minum sambil duduk, bila orang tuanya berdiri ketika makan dan minum. Apakah mungkin anak kita akan belajar, sedang disaat yang sama kita asyik menonton acara televisi atau begitu fokus dengan chatting di berbagai social media?????

Jangan pernah mengharap orang lain mau melakukan apa yang kita perintahkan bila kita tak pernah bisa memberikan contoh. Rasulullah SAW uswah hasanah kita, ketika melakukan syiar untuk mengajak ummatnya melaksanakan perintah Allah SWT, senantiasa memberikan contoh dengan melakukan perintah-perintah Allah tersebut. Dengan kelembutan namun penuh ketegasan baginda Rasul mampu menebarkan cahaya Islam dalam kehidupan manusia pada saat itu. Memang kita bukanlah Rasul yang memiliki sifat ma’sum, manusia pilihan Allah yang terjaga dari melakukan hal-hal buruk, namun setidaknya bilamana kita mengaku mencintai Rasul dan merindukan syafaat Allah di yaumil akhir nanti melalui lelaki pilihan kekasih Allah ini, tentulah kita akan mengikuti bagaimana cara-cara rasul dalam bermuamalat, tak terkecuali ketika kita bekerja.

Ada hal penting yang seharusnya senantiasa dilakukan oleh seorang pimpinan, hingga dia dapat menjadi pemimpin yang layak jadi panutan bagi orang yang dipimpinnya, yaitu “Belajar”. Menjadi seorang pemimpin berarti secara sadar memilih untuk terus belajar. Belajar tentang banyak hal, belajar untuk lebih berdisiplin, belajar untuk lebih bertanggungjawab, belajar untuk membangun komunikasi yang efektif dengan banyak pihak, belajar untuk cermat dan bijak menyelesaikan masalah, belajar untuk mendengar banyak hal dari semua komponen dalam institusi yang dipimpinnya, dan tentunya belajar untuk membangun kompetensi diri. Pembelajaran ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, bisa sharing dengan orang yang berpengalaman, belajar dari literatur tentang kepemimpinan yang bejibun di toko-toko buku, termasuk juga belajar dari bawahannya. Bisa jadi orang yang dipimpin mempunyai pengetahuan lebih tentang beberapa hal. Tidak ada salahnya pimpinan belajar dari orang yang dipimpinnya. Tidak perlu merasa gengsi, apalagi menjadi tidak suka bila ada bawahan yang memiliki kemampuan lebih. Pemimpin yang baik seharusnya justru mengakomodir kompetensi anak buah untuk kemajuan institusi dan pencapain tujuan organisasi. Tidak perlu pula pimpinan merasa tersaingi dengan kelebihan yang dimiliki oleh anak buah, apalagi merasa khawatir kelebihan yang dimiliki anak buahnya akan mengganggu eksistensinya sebagai pimpinan. 

Ciri-ciri pemimpin yang luar biasa

1. Integritas (melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikatakan, penepatan janji)

Seorang pemimpin yang luar biasa akan memiliki integritas yang tinggi. Segala sesuatu yang dilakukannya sesuai dengan apa yang dikatakannya. Ketika pimpinan membuat sebuah peraturan, maka dialah orang pertama yang akan melakukan peraturan tersebut secara konsisten. Bilamana seorang pimpinan menerapkan system reward and funishment, maka aturan tersebut dilakukan secara utuh dan menyeluruh, tidak bersifat tebang pilih atau ada beberapa lapisan individu yang kebal terhadap funishment (karena teman dekat) sementara yang lain tidak mendapatkan reward (karena rasa tidak suka/subyektifitas). Pemimpin yang hebat akan melakukan segala sesuatu sesuai dengan apa yang dikatakan, dan senantiasa menepati janji

2. Optimisme

Pemimpin yang luar biasa selalu optimis terhadap kemampuannya menggerakkan institusi yang dipimpinnya mencapai “Big Goals”.  Apapun kondisi yang dihadapi, optimisme yang dimiliki pimpinan akan menularkan energi positif terhadap lingkungan kerja. Akibatnya pimpinan akan mampu menggerakkan seluruh jajarannya untuk tetap bersemangat mencapai tujuan organisasi dan mentransformasikan segala kondisi yang dihadapi menjadi sebuah kekuatan untuk terus maju.

3. Menyukai Perubahan

Bagi seorang pemimpin yang luar biasa, perubahan merupakan sebuah kebutuhan. Jika tidak berubah itu berarti tidak berkembang. Dengan demikian pemimpin tersebut akan terus berinovasi mencari terobosan baru dan menciptakan berbagai perubahan demi kemajuan institusi yang dipimpinnya.

4. Berani menghadapi resiko

Seorang pemimpin yang luar biasa akan selalu siap menghadapi segala resiko yang mungkin terjadi dari berbagai inovasi yang diciptakannya. Berani mengambil resiko adalah bagian dari pertumbuhan yang amat penting. Pemimpin harus bisa menghitung resiko dan keuntungan dibalik resiko untuk melangkah lebih baik. Untuk itulah seorang pemimpin mutlak harus dapat melakukan analisa SWOT, sehingga mampu memperhitungkan peluang yang bisa dimanfaatkan bagi perkembangan dan kemajuan institusi.

5. Ulet

Sikap pantang menyerah yang ditunjukkan oleh seorang pemimpin yang hebat saat menghadapi kesulitan, akan membuat anak buah termotivasi untuk terus berusaha menemukan solusi terbaik dan problem solving, bagi berbagai masalah yang ada. Kondisi ini akan membuat seluruh komponen yang berada dalam komando sang “pimpinan” menjadi sabar dalam menghadapi segala permasalahan dan senantiasa berusaha dengan sungguh-sungguh, sesulit apa pun medan yang harus dihadapi.

6. Katalistis

Pemimpin yang hebat adalah pemimpin yang secara luar biasa mampu menggerakkan orang lain untuk melangkah. Pemimpin yang hebat bisa memotivasi dan mengajak orang lain keluar dari zona kenyamanan untuk kemudian bergerak menuju tujuan mereka. Para pemimpin yang katalistis, akan selalu mampu membangkitkan gairah, antusiasme dan tindakan anak buah.

7. Berdedikasi dan komit

Anak buah menginginkan pemimpin  yang mencurahkan perhatian dan komitmen yang lebih kepada institusi dari pada ke diri mereka sendiri. Pemimpin yang hebat akan berdedikasi tinggi dan  komit pada tugas-tugasnya. Hal ini akan memotivasi anak buah untuk mengikuti sang pemimpin karena anak buah kemudian menjadi paham dan dapat melihat betapa pentingnya pencapaian tugas-tugas dan tujuan sebagaimana yang dicontohkan oleh seorang pimpinan.


)* Dari berbagai sumber

Jumat, 12 April 2013

Berhentilah Menjadi Jiwa Pengecut




"Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kamu menjadi orang yang tidak mempunyai sikap. Bila orang melakukan kebaikan maka aku pun melakukannya. Namun bila orang melakukan keburukan maka aku pun ikut melakukannya juga. Akan tetapi jadilah orang yang punya sikap dan keberanian. Jika orang melakukan kebaikan maka aku melakukannya. Namun jika orang melakukan keburukan maka aku tinggalkan sikap buruk mereka.” (Tirmidzi)

Pernahkah menjumpai orang yang selalu ingin berada di zona aman? Tak pernah mau ambil resiko, hingga akhirnya tindakan yang dilakukannya merugikan orang-orang disekitarnya termasuk kita?

Mungkin jawabnya “PERNAH/SERING”.

Di tempat kerja misalnya, demikian heterogennya komunitas tempat kita berinteraksi memungkinkan munculnya berbagai konflik kepentingan dari setiap individu yang akan berimbas pada kenyamanan posisi dan eksistensi seseorang. Dari pada kena complain/marah, mending bilang “nggak tau ajja dah….” 

Kalimat seperti ini tak jarang muncul dari pribadi-pribadi yang demen pada Zona Aman. Mungkin bisa dikatakan ini adalah komunitas “Pengecut” yang selalu ingin menghindar dari complain  (terutama dari atasan). Walau mungkin tidak selalu si “Pengecut” ini bermaksud melemparkan tanggung jawab pada orang lain, namun sudah bisa dipastikan, akan ada pihak yang dirugikan karena sikap “cuci tangan” sang pengecut
.
 “Aku nggak tau soal itu, aku sih sebenernya cuma mengajukan proposal ini ajja, tapi nggak tau menahu soal asumsi-asumsi yang digunakan dalam RAB itu, apalagi nominalnya ……”

Demikian seorang pengecut berkelit ketika dikomplain oleh atasannya perihal RAB dalam sebuah proposal kegiatan yang sedang diajukan. Memang proposal itu bukan hasil pemikirannya, ada orang lain yang berbaik hati membantu sang pengecut yang kebetulan menjadi penanggungjawab sebuah kegiatan untuk menyusun proposal. Tapi logiskah bila seorang penanggung jawab sebuah kegiatan yang nota bene harus tau segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan yang akan dilaksanakan dengan enteng mengatakan “Nggak tau” ketika ditanya tentang isi proposal yang diajukan???? Enggak masalah klo proposalnya dibuatin orang, tapi sebagai PJ, memahami konten dari proposal yang diajukan, apalagi sudah dibubuhi tanda tangan sang PJ adalah suatu keharusan. Aneh bukan bila orang yang sudah menyatakan diri sebagai penyusun proposal melalui tanda tangannya, lalu tidak bisa menjelaskan konten tulisan dan RAB yang dibuatnya……

Bagi orang yang berjiwa pengecut, tentu lebih mudah melemparkan tanggung jawab pada orang lain dengan mengatakan “aku nggak tau, si “anu” yang membuat, jadi aku nggak tahu kenapa asumsi itu digunakan dalam proposal ini…..”. Kembali sang PJ berkelit manakala dicecar berbagai hal berkaitan dengan apa yang diajukan dalam proposal. Kalau masih bisa bersembunyi di balik nama orang lain, kenapa harus menanggung resiko sendiri????? Itu lah prinsip dari orang yang berjiwa pengecut. Orang-orang yang tidak berani “menjawab” complain, tidak mau menanggung resiko atas segala sesuatu yang dilakukan/diucapkannya, walau pun itu menjadi tanggungjawabnya. Orang-orang seperti ini cenderung menjadi pribadi yang tidak tegas, dan seringkali menggunakan air mata/wajah “melo” nya sehingga kondisi menjadi dramatis, mengharap belas kasihan orang di sekitarnya, sehingga seolah-olah sang pengecut menjadi orang yang paling berat menanggung beban sebagai PJ sebuah kegiatan, dan stress karena harus mengerjakan berbagai tugas sendirian. Harapannya akan timbul rasa iba dari atasannya, dan terbentuklah persepsi-persepsi yang tidak menguntungkan bagi teman dalam satu tim. Dalam konteks “team work”, orang-orang dengan kepribadian pengecut seperti ini jelas akan sangat merugikan anggota dalam tim tersebut, bahkan bukan tidak mungkin akan menimbulkan persepsi pimpinan seolah-olah ada ketidakkompakan kinerja dalam tim tersebut.

        ***********************************************************************

Kejadian diatas mungkin hanya sebuah contoh kasus kecil yang pernah kita temui di dunia kerja, namun dari situ kita dapat mengambil pelajaran bermakna. Mari kita lihat diri kita, apakah selama ini kita pernah bersikap seperti contoh diatas, atau perilaku-perilaku lain yang bisa disintesiskan dengan contoh ini, atau bahkan mungkin lebih parah lagi?????

Lalu akankah kita membiarkan diri kita menjadi seorang “pengecut” yang seringkali mengakibatkan kerugian bagi orang-orang di sekitar kita????? Akankah kita terus menerus menjadi pribadi yang tidak punya pendirian, dan selalu mencari “kambing hitam” demi keamanan dan kenyamanan diri sendiri????? Sampai kapan kita akan membiarkan diri kita menjadi orang yang tidak peduli pada orang-orang disekitar kita, menyakiti mereka, hanya demi “keselamatan” diri sendiri, padahal orang-orang tersebut telah demikian baik dan senantiasa membantu kita dalam banyak hal???? Pernahkah kita berpikir, bagaimana seandainya kita menjadi “mereka”, menjadi pihak yang dirugikan oleh orang lain hanya karena kepengecutan orang tersebut???? Sakit nggak ya kira-kira……Mari kita berinterospeksi diri. Muhasabah sepertinya  menjadi pilihan yang terbaik bagi kita.

Sadarilah, membiarkan diri menjadi insan dengan jiwa pengecut yang tumbuh subur, hanya akan membuat diri kita menjadi seorang pecundang. Mudah dipermainkan orang, sulit menghadapi persaingan, tak akan pernah dianggap oleh lingkungan sekitar, bahkan mungkin orang akan under estimate pada kita, karena lingkungan sekitar yang sudah sangat paham dengan karakter kita yang tak punya pendirian/sikap. Orang-orang yang tak punya sikap seperti ini akan menjadi duri dalam daging saat harus bekerja sama dalam sebuah tim. Bagaimana tidak, untuk menghindari teguran/complain dari atasan atau pihak lain, “sang pengecut” yang tak punya sikap, bisa saja menggadaikan kekompakan tim nya. Sudah seharusnyalah sikap pengecut seperti ini tidak dipelihara. Jika boleh ekstrim saya katakan, wajib hukumnya bagi kita untuk terus memperbaiki diri menjadi pribadi yang tegar, siap menerima resiko apa pun, serta berani menjawab complain dalam bentuk apa pun dan dari siapa pun seoptimal mungkin. Ketika ada pihak-pihak yang ingin menggali informasi, hindari kata “tidak tau” yang selama ini sering kita gunakan untuk mengamankan diri (tidak mau ambil resiko), padahal sebenarnya kita tau apa yang terjadi. Apalagi jika memang hal yang ditanyakan berkaitan erat dengan tanggung jawab kita. Terlebih lagi jika memang kita lah yang melakukan sebuah kesalahan. Belajarlah untuk berani bersikap, berani mengambil resiko, dan berhentilah menimpakan kesalahan pada orang lain dari sekarang. Ingatlah, orang yang senantiasa bersembunyi dibalik “zona aman” tidak lebih dari seorang pecundang. Maukah kita menjadi pribadi seperti ini??????

Hidup punya banyak pilihan, tentang hal yang baik dan buruk. Tentukan pilihanmu, lakukan yang terbaik!!!! Dan pilihan itu tentu saja adalah “Melatih diri untuk menjadi pribadi yang punya sikap dan keberanian” sebagaimana dicontohkan oleh uswah hasanah kita Nabiyullah Muhammad SAW dalam sabda beliau yang diriwayatkan oleh Tirmidzi seperti tertulis dalam kutipan awal tulisan ini. Semoga kita dapat senantiasa memperbaiki diri, dan terhindar dari jiwa pengecut yang cenderung menimpakan kesalahan pada orang lain, yang pada gilirannya akan merugikan orang-orang di sekitar kita.



)*Edisi bulan galau penuh kecewa