Rabu, 21 Agustus 2013

Ketika Punishment Menjadi Pilihan.......(Sebuah Refleksi Bagi Seorang Pendidik)


“Assalamu’alaikum, waduh......sepertinya cape’ sekali, tapi tentu tetap menyenangkan dong sekolah hari ini...”

“Ah..biasa saja bunda”

“oh...begitu, bagaimana dengan ulangan IPA nya?”

“Ah....nggak tau lah bun, aku nggak selesai ngerjainnya, nggak bakalan dapat sepuluh bun. Aku cape habis lari-larian”

“Ah...tidak apa-apa. Memangnya bunda marah klo ulangan ade' nggak sepuluh, yang penting bagi bunda, ade' sudah berusaha, sudah belajar dengan baik tadi malam. Ngomong-ngomong, kok ade’ bilang cape’ habis lari-larian. Bukannya ulangan IPA itu sebelum istirahat, dan hari ini tadi, jam pertama pelajaran matematika kan..... Bagaimana ade’ bisa lari-larian?”

“Hari ini aku dan 4 orang temanku dihukum pak guru karena tidak mengerjakan PR matematika bunda....”

“Memangnya ada PR matematika de’...bukannya semalam hanya ada PR PKn , dan ade’ sudah mengerjakannya....”

“Aku lupa bunda, aku hanya ingat PR Pkn saja. Aku sama sekali tidak ingat kalau tugas yang belum selesai kukerjakan di sekolah dijadiin PR sama pak guru. Akhirnya aku disuruh lari keliling lapangan 5 kali. Capeeee bunda, kakiku pegel.....”

Sang bundapun hanya bisa terdiam, lalu segera memeluk anak lelakinya yang baru duduk di kelas 5 SD itu. 

#################################################################

Inikah potret pendidikan kita?

Masih saja adakah hukuman-hukuman fisik untuk anak didik kita?

Jangan-jangan kita masih belum memahami hakekat pendidikan.....

Pendidikan, menurut UU RI No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 adalah  usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan  proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 

Dalam Islam, setidaknya pendidikan itu meliputi 3 hal, yaitu: tarbiyah, ta’lim dan ta’bid. Tarbiyah, menurut Abdurrahman al-Nahlawi, pendidikan diartikan sebagai usaha memelihara fitrah anak. Menumbuhkan seluruh bakat dan kesiapannya, mengarahkan fitrah dan seluruh bakat agar menjadi baik dan sempurna, serta bertahap prosesnya. Kata Ta’lim dipahami sebagai proses pembelajaran secara terus menerus sejak manusia lahir melalui pengembangan fungsi-fungsi pendengaran, penglihatan dan hati. Proses ini tidak berhenti sampai pada pengetahuan kognitif saja, namun terus berkelanjutan hingga ke ranah psikomotor dan afektif. Sedangkan Ta’dib diartikan sebagai mendidik budi pekerti/meningkatkan peradaban.

Jelas sekali bahwa pendidikan, baik menurut Undang-undang maupun dalam konsep Islam, adalah sebuah usaha sadar yang dilakukan oleh manusia untuk memanusiakan manusia hingga menjadi menjadi manusia yang bermartabat, cerdas secara intelektual maupun spiritual hingga mampu berinteraksi dengan sesama manusia dengan norma yang senantiasa memanusiakan manusia.

Dalam proses berlangsungnya sebuah “pendidikan” di lembaga formal, guru adalah satu-satunya orang dewasa di dalam kelas. Di tangan seorang gurulah, sebuah proses pendidikan berlangsung. Ke arah manakah proses pendidikan itu berjalan, juga ada di tangan sebuah profesi yang bernama “guru”.  

Tentu tidak ada sebuah proses pendidikan yang bertujuan negatif, namun tujuan akhir sebuah pendidikan bisa saja tidak tercapai karena kegagalan pembentukan karakter anak didik. Rasanya seluruh pendidik sudah sangat paham, bahwa mengajar tidak sama dengan mendidik. Mengajar adalah sebuah kegiatan transfer pengetahuan kepada anak didik, sedangkan mendidik tidak hanya mentransfer ilmu namun juga norma/nilai-nilai positif dalam hidup. 

Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam proses ini, seorang guru akan menghadapi berbagai kendala, mengingat heterogenitas peserta didik, baik dari segi kemampuan kognisi, tingkat intelegensi, kematangan emosi atau pun latar belakang sosial ekonominya. Perbedaan ini akan berdampak tidak hanya pada hasil belajar yang dicapai oleh setiap individu, namun juga pada sikap dan respon peserta didik pada setiap tugas yang diberikan oleh guru. Jika sudah demikian, perlukah guru menerapkan sistem reward and punishment?

Sanksi dan hadiah sebenarnya dapat menjadi motivasi tersendiri bagi anak didik untuk berkompetisi menjadi lebih baik. Reward/hadiah merupakan bentuk dari apresiasi guru untuk setiap usaha yang dilakukan siswa. Tidak selalu reward ini berbentuk benda, pujian dan kata-kata positif juga merupakan energi yang luar biasa untuk membangun konsep diri positif pada anak.

 Lalu bagaimana dengan hukuman/punishment? Perlukah kita lakukan?

Terkadang guru perlu menerapkan aturan sehingga siswa dapat belajar disiplin. Yang perlu selalu diperhatikan adalah bahwa mengajarkan disiplin itu tidak sama dengan memberikan hukuman fisik. Sebagai contoh ilustrasi di awal tulisan ini. Seorang siswa kelas 5 SD dihukum oleh guru matematika untuk berkeliling lapangan 5 kali karena tidak mengerjakan PR. Banyak faktor yang melatarbelakangi kesalahan yang dilakukan oleh seorang anak. Bisa jadi tidak mengerjakan PR karena lupa, karena diajak pergi orang tua, karena tidak tahu cara mengerjakannya dan tidak ada orang yang bisa dimintai bantuan (orang tuanya bekerja dan baru pulang larut malam), atau karena anak tersebut memang benar-benar malas (tidak memiliki motivasi belajar).  Apalagi untuk siswa yang masih berada di tingkat dasar, PR/tugas dari sekolah masih sangat membutuhkan intervensi orang tua, artinya bila anak SD tidak mengerjakan PR maka kesalahan tidak hanya ada pada si anak, namun juga orang tuanya. Ini berarti komunikasi antara orang tua dan sekolah perlu terus dibangun, sehingga stakeholder mampu bersinergi dengan baik. Namun demikian, apa pun alasan yang melatarbelakangi kesalahan pada anak, tetap saja hukum fisik bukanlah sesuatu yang dapat membangun nilai positif dalam jiwa anak.  

Setidaknya hal-hal negatif yang mungkin timbul dari keputusan melakukan hukuman fisik pada anak adalah sebagai berikut:

  • Kemungkinan timbulnya cidera fisik. Guru mungkin saja tidak tahu bahwa si anak dalam kondisi kurang sehat atau tidak sarapan. Hukuman fisik yang diberikan guru mungkin akan berakibat siswa pinsan, jatuh sakit, menimbulkan bekas luka, dll.
  • Hukuman yang diberikan akan mempengaruhi kondisi psikologis anak.  Anak bisa saja merasa malu, tidak nyaman, sakit hati dan merasa harga dirinya terabaikan oleh orang dewasa terdekatnya di sekolah. Dampak negatif secara psikologis ini akan semakin parah jika anak kemudian menyimpulkan sendiri bahwa jika salah harus dihukum dengan hukuman seperti yang dia terima dari guru, kemudian menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari baik terhadap teman  di sekolah maupun terhadap saudaranya di rumah.
  • Hilangnya sikap saling menghargai antar guru dan anak didik, bahkan bukan mustahil akan menimbulkan kebencian dan rasa dendam dalam diri anak terhadap gurunya.
  • Terhambatnya pemahaman anak terhadap materi pelajaran (karena faktor tidak suka terhadap guru).

Beberapa hal yang dapat dilakukan guru untuk membangun kedisiplinan siswa dalam mematuhi aturan:

1. Jelaskan rules/aturan yang harus diikuti.
Aturan yang dibuat hendaknya jelas sehingga siswa mengetahui mana batasan yang boleh mereka lakukan dan mana yang tidak. Jelaskan secara detil aturan tersebut, berikut konsekuensi bila aturan tersebut tidak diikuti. Tetaplah berpatokan pada konsekuensi yang termasuk dalam koridor “hukuman yang yang dapat memotivasi kedisiplinan”. 

2. Jelaskan alasan mengapa aturan tersebut harus dibuat, apa akibat bila tidak ada aturan tersebut. Berikan gambaran yang konkrit sehingga mudah dipahami oleh anak

3. Lakukan penjelasan berulang tentang aturan yang harus diikuti, sehingga siswa ingat pada kewajiban yang harus dilakukan.

4. Seringlah melakukan komunikasi dengan siswa tentang segala hal yang ingin diterapkan. Berikan penjelasan dari kacamata kita sebagai guru, dan manfaat baik apa yang akan diperoleh siswa manakala mereka mengikuti aturan. 

5. Lakukan pendekatan persuasif pada siswa “bermasalah”. Ajaklah mereka berdiskusi, karena bisa jadi kelalaian yang mereka lakukan disebabkan oleh faktor psikologis, tekanan akademis, atau bisa juga karena mereka memiliki kelebihan energi sehingga susah berkonsentrasi dan menjadi tidak terkondisi saat kegiatan pembelajaran. 


)*Yuk jadi pendidik yang bermakna bagi anak didik.....^_^