Rabu, 06 Februari 2013

"Supervisi Pendidikan": Kenapa harus galau saat akan diobservasi ???? (Bag. 1)



“Bu….sudah diobservasi sama KepSek dan Pengawas belum?”
“Belum, kenapa Bu…..?”
“Sama dong kalau begitu, saya juga belum. Jadi H2C deh…..? Kapan ya kira-kira ? Nggak jelas gini sih, ntar pas wayahnya kitanya lagi nggak siap aja…..ujug-ujug nongol”
 ***********************************************************************

“Bu….sudah kebagian diobservasi belum?
“Belum Bu, kenapa….?”
“Ibu harus siap-siap lho….harus bener-bener bu, jangan kayak guru-guru yang sudah diobservasi kemarin. Ada yang manajemen kelasnya jelek, ada yang nggak menguasai materi, ada juga yang ngajarnya nggak pake media sama sekali. Apalagi ibu ini kan guru honor di sini, jadi performanya harus bener-bener bagus lho….kalau nggak bisa-bisa sekolah ini nggak mau pake’ tenaga ibu lagi deh….”
 ***********************************************************************

Itulah sekelumit  percakapan yang muncul diantara guru-guru di sudut kantin sekolah saat jam makan siang. Observasi atau pengamatan langsung proses KBM oleh kepala sekolah/pengawas sebagai rangkaian kegiatan supervisi pendidikan, merupakan hal yang sangat wajar dan seharusnya menjadi sebuah  rutinitas yang kontinyu dan berkesinambungan. Hal ini berarti, seharusnya tidak perlu ada satu pun guru yang merasa H2C, atau harus prepare habis-habisan ketika akan dilakukan kegiatan observasi, karena toh…seluruh guru sudah terbiasa diobservasi secara rutin.  Namun  kenapa masih ada perbincangan seperti diatas? Ada apa dengan kegiatan supervisi kepala sekolah/pengawas? Mungkinkah supervisi yang dilakukan tidak ajeg, tidak rutin, dan muncul tiba-tiba di depan kelas kayak “Tok Tok Wow….” (kalau supervisornya lagi mood gitu....^_^ tanpa jadwal rutin, bisa jadi diobservasi 2 tahun sekali) ditambah lagi sang supervisor pasang wajah “sok jaim, sok berwibawa, and so on…”? (jadi bikin si guru segen, gak enak body, dan yang paling parah adalah guru jadi grogi, trus berdampak pada tidak optimalnya kegiatan pembelajaran di kelas pas saat disupervisi). Nah loh.....enggak enak bener ujung-ujungnya. 

Bagaimana sih sebenarnya persepsi guru terhadap kegiatan supervisi ini? Bagaimana pula seharusnya seorang supervisor memandang sebuah kegiatan “supervisi pendidikan”?

Pengertian supervisi pendidikan

  Menurut Good Carter, supervisi adalah usaha dari petugas-petugas sekolah dalam memimpin guru-guru dan petugas lainnya, dalam memperbaiki pengajaran, termasuk menstimulir, menyeleksi pertumbuhan  jabatan dan perkembangan guru-guru dan merevisi tujuan-tujuan pendidikan, bahan-bahan pengajaran, dan metode mengajar dan evaluasi pengajaran. 
  Menurut Boardman et., supervisi adalah  salah satu usaha menstimulir, mengkoordinir dan membimbing secara kontinyu pertumbuhan guru-guru di sekolah baik secara individual maupun secara kolektif, agar lebih mengerti dan lebih efektif dalam mewujudkan seluruh fungsi pengajaran, dengan demikian mereka dapat menstmulir dan membimbing pertumbuan tiap-tiap murid secara kontinyu, serta mampu dan lebih cakap berpartsipasi dalam masyarakat demokrasi modern.
  Menurut Wilem Mantja (2007),  supervisi diartikan sebagai kegiatan supervisor (jabatan resmi) yang dilakukan untuk perbaikan proses belajar mengajar (PBM). Ada dua tujuan (tujuan ganda) yang harus diwujudkan oleh supervisi, yaitu; perbaikan (guru murid) dan peningkatan mutu pendidikan
  Menurut Kimball Wiles (1967) Konsep supervisi modern dirumuskan sebagai berikut : “Supervision is assistance in the development of a better teaching learning situation”.
  Menurut Ross L (1980), supervisi adalah pelayanan kepada guru-guru yang bertujuan menghasilkan perbaikan pengajaran, pembelajaran dan kurikulum.
  Menurut Purwanto (1987),  supervisi  ialah suatu aktivitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu para guru dan pegawai sekolah  dalam melakukan pekerjaan secara efektif.

Pandangan guru terhadap supervisi pendidikan

Bagi sebagian guru, kegiatan supervisi membuat suasana kerja menjadi kurang nyaman. Hal ini terjadi karena adanya beberapa kemungkinan tentang persepsi guru terhadap kegiatan supervisi, diantaranya:
  • Supervisi dianggap sama dengan inspeksi, yakni kegiatan untuk mencari kesalahan-kesalahan guru, sehingga seringkali guru merasa bahwa supervisor yaitu kepala sekolah/pengawas cenderung bersikap otoriter. 
  • Guru merasa tertekan dan terancam, maka sedapat mungkin menghindari kegiatan supervisi, agar tidak kecewa 
  • Khawatir adanya perilaku kurang simpatik dari kepala sekolah/pengawas, sehingga guru kemudian akan merasa tertekan dan dipermalukan 

Ada banyak hal yang membuat guru selaku obyek supervisi, seringkali terlihat terbelakang, tidak kompeten, dan terkesan tidak berperforma baik dalam proses KBM ketika supervisi dilakukan, diantaranya adalah:
  • Seringkali guru terjebak dalam rutinitas tugas sehari-hari, dan terlena, tidak termotivsi untuk mengembangkan diri 
  • Iklim kerja yang kurang menggairahkan, monoton, sehingga guru merasa puas dengan apa yang sudah dilakukan selama ini, dan tidak termotivasi untuk lebih kreatif dan inovatif dalam kegiatan pembelajaran
  • Lingkungan kerja yang kurang kompetitif 
  • Insentif dan jaminan kerja yang kurang menarik/ menantang 
  • Pengaruh pimpinan yang sering kurang memberi motivasi 
  • Guru sangat disibukkan dengan tuntutan kegiatan administratif dan menyebabkan jenuh, sehingga menjadi  apatis, dsb 

Beberapa hal diatas seringkali membuat para guru terjebak dalam ketidakprofesionalan, lebih mementingkan tugas-tugas administrasi, sementara tugas utamanya sebagai pendidik sekaligus “transfer of knowledge” pada siswa mendapatkan porsi yang kecil karena energi guru lebih banyak terserap untuk  menyelesaikan beban tugas yang lain. Akibatnya ketika obsevasi dilakukan, guru menjadi gugup, karena kurangnya persiapan. 

Dalam kondisi seperti ini, maka akan muncul beberapa masalah dalam kegiatan supervisi sebagai berikut:
  • Guru menganggap bahwa supervisi adalah  sama dengan evaluasi yang hanya sekedar mencari-cari kesalahan saja. Dalam hal ini guru akan merasa kecewa atau segan apabila akan dievaluasi, karena akan terlihat kelemahannya oleh orang lain (supervisor).
  • Guru berasumsi bahwa supervisi selalu berangkat dari kepentingan pengawas/kepala sekolah, dan bukan kepentingan guru, sehingga hubungan menjadi kurang menyenangkan.
  • Dalam proses supervisi,  hubungan antara supervisor dan guru adalah hubungan  atasan  dan bawahan,  sehingga secara psikologis guru merasa tertekan, dan supervisor ada pada pihak yang menang.
  • Pada kondisi kepala sekolah yang kurang memberikan motivasi, pendekatan yang dilakukan oleh kepala sekolah sebagai supervisor terhadap guru dalam menjalankan tugas supervisi biasanya bersifat otoriter, sehingga guru tidak memiliki kesempatan untuk menunjukkan keunggulannya.
  • Sasaran supervisi lebih dititik beratkan pada kegiatan administratif, seperti teknik membuat persiapan, RPP, penyediaan media pembelajaran yang digunakan, serta berbagai sarana-prasarana penunjang KBM, bukan pada peningkatan kualitas mengajar guru.
  • Reformasi pendidikan belum mengubah secara signifikan teknik dan pendekatan supervisi, sehingga supervisor lebih sering mencari kesalahan obyek supervisi (guru) dari pada memberikan solusi demi terwujudnya peningkatan kualitas pembelajaran.

Tentu saja dibutuhkan kerjasama, pengertian, serta pengembangan hubungan kerja yang baik dalam lingkungan sekolah (antara guru, kepala sekolah, dan pengawas), agar masing-masing komponen, baik yang menjadi obyek supervisi maupun supervisor dapat menjalankan fungsi dan perannya secara optimal tanpa menimbulkan tekanan terutama terhadap guru sebagai obyek supervisi. Untuk itu guru perlu mengubah persepsinya tentang konsep “Supervisi Pendidikan” yaitu:
  • Supervisi merupakan proses pemberian bantuan dan pembinaan kepada guru untuk memperbaiki proses belajar mengajar di kelas
  • Sifat hubungan dalam kegiatan supervisi adalah  kemitraan (kolegial)
  • Kegiatan supervisi dapat menjadi ajang pemecahan masalah bersama-sama 
  • Supervisi sebagai kebutuhan bersama dalam  usaha memperbaiki pendidikan 
  • Semua komponen baik guru sebagai obyek supervisi  maupun kepala sekolah/pengawas  sebagai supervisor  harus berpikir positif terhadap kegiatan supervisi 

Bilamana persepsi guru terhadap kegiatan supervisi seperti diatas, maka supervisi yang dilakukan akan  memberikan hasil positif, tanpa ada guru yang merasa tertekan, karena supervisor yaitu kepala sekolah/pengawas melakukan tugas supervisinya dengan prinsip kemitraan, memberikan feedback, saran dan masukan pada guru secara personal ( tidak melibatkan guru lain, apalagi mengkritik didepan guru lain) serta memberikan solusi bagi permasalahan yang muncul dalam  proses KBM melalui diskusi dan tukar pendapat dengan guru ybs untuk menentukan alternatif solusi yang dapat dipilih. 

Selain guru, kepala sekolah/pengawas sebagai supervisor pun harus memperbaharui persepsi mereka tentang kegiatan ”Supervisi Pendidikan” sbb: 
  • Orientasi kerja supervisi pendidikan diubah dari ‘menggurui’ menjadi memberi bantuan dan melakukan pembinaan dengan hubungan sebagai mitra (kolega)
  • Supervisor menguasai konsep dan teori supervisi pendidikan sebagai landasan bertindak, di samping pemahaman terhadap tugasnya 
  • Memberikan bantuan sesuai dengan kebutuhan guru.

Seorang supervisor (kepala sekolah/pengawas) hendaklah memiliki pengetahuan dalam bidang pendidikan yang luas, memiliki intuisi yang baik agar dapat membantu guru dalam berbagai masalah pendidikan, bersikap ramah dan luwes serta memiliki sikap humoris yang cukup (sehingga hubungan antara guru dan supervisor tidak kaku/canggung, yang pada gilirannya akan membuat guru merasa nyaman untuk berdiskusi/berkonsultasi). Satu hal yang tak kalah penting perlu dimiliki oleh seorang supervisor yaitu bersikap sabar kepada semua guru dengan berbagai karakter dan kondisi psikososial yang bervariasi. Bilamanana seluruh komponen yang terkait dalam kegiatan supervisi ini senantiasa berpikir positif, maka tujuan utama dari supervisi pendidikan sebagaimana yang dimaksud dalam definisi supervisi pendidikan oleh para pakar akan terwujud. 

Satu hal  penting yang perlu digarisbawahi adalah komitmen dari seluruh komponen untuk mentaati etos kerja. Allah SWT sebenarnya sudah memberikan pembelajaran yang bermakna berkaitan dengan etos kerja ini, yaitu melalui firman Nya dalam Qs At-Taubah:105:

”Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan   ( Qs At-Taubah;105)”

Ayat di atas mengandung makna, bahwa setiap muslim ketika bekerja tidak perlu harus selalu diawasi oleh atasan, karena keyakinannya bahwa Allah Maha Mengetahui, Maha Melihat segala sesuatu yang dilakukan oleh makhluk Nya. Kesadaran senantiasa berada dibawah pengawasan Allah ini membuat setiap muslim akan melakukan yang terbaik sebagai wujud tanggungjawabnya terhadap Sang Khaliq atas pilihan hidup yang diambil. Dengan demikian guru akan  melakukan tugas dan kewajibannya dengan penuh tanggung jawab, baik tugas administrasi maupun tugas sebagai pendidik sehingga seorang guru tidak perlu menunggu disupervisi dulu, baru menunjukkan performa optimalnya. Demikian pula dengan supervisor (kepala sekolah/pengawas) akan berusaha penuh menjalankan tugas supervisinya dengan baik, bukan mencari-cari  kesalahan guru, namun ditujukan untuk memperbaiki pendidikan dan memberikan pembinaan secara penuh kepada guru agar dapat meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas, memperbaiki kekurangannya, serta mencari solusi bagi permasalahan yang timbul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar