Jumat, 12 April 2013

Berhentilah Menjadi Jiwa Pengecut




"Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kamu menjadi orang yang tidak mempunyai sikap. Bila orang melakukan kebaikan maka aku pun melakukannya. Namun bila orang melakukan keburukan maka aku pun ikut melakukannya juga. Akan tetapi jadilah orang yang punya sikap dan keberanian. Jika orang melakukan kebaikan maka aku melakukannya. Namun jika orang melakukan keburukan maka aku tinggalkan sikap buruk mereka.” (Tirmidzi)

Pernahkah menjumpai orang yang selalu ingin berada di zona aman? Tak pernah mau ambil resiko, hingga akhirnya tindakan yang dilakukannya merugikan orang-orang disekitarnya termasuk kita?

Mungkin jawabnya “PERNAH/SERING”.

Di tempat kerja misalnya, demikian heterogennya komunitas tempat kita berinteraksi memungkinkan munculnya berbagai konflik kepentingan dari setiap individu yang akan berimbas pada kenyamanan posisi dan eksistensi seseorang. Dari pada kena complain/marah, mending bilang “nggak tau ajja dah….” 

Kalimat seperti ini tak jarang muncul dari pribadi-pribadi yang demen pada Zona Aman. Mungkin bisa dikatakan ini adalah komunitas “Pengecut” yang selalu ingin menghindar dari complain  (terutama dari atasan). Walau mungkin tidak selalu si “Pengecut” ini bermaksud melemparkan tanggung jawab pada orang lain, namun sudah bisa dipastikan, akan ada pihak yang dirugikan karena sikap “cuci tangan” sang pengecut
.
 “Aku nggak tau soal itu, aku sih sebenernya cuma mengajukan proposal ini ajja, tapi nggak tau menahu soal asumsi-asumsi yang digunakan dalam RAB itu, apalagi nominalnya ……”

Demikian seorang pengecut berkelit ketika dikomplain oleh atasannya perihal RAB dalam sebuah proposal kegiatan yang sedang diajukan. Memang proposal itu bukan hasil pemikirannya, ada orang lain yang berbaik hati membantu sang pengecut yang kebetulan menjadi penanggungjawab sebuah kegiatan untuk menyusun proposal. Tapi logiskah bila seorang penanggung jawab sebuah kegiatan yang nota bene harus tau segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan yang akan dilaksanakan dengan enteng mengatakan “Nggak tau” ketika ditanya tentang isi proposal yang diajukan???? Enggak masalah klo proposalnya dibuatin orang, tapi sebagai PJ, memahami konten dari proposal yang diajukan, apalagi sudah dibubuhi tanda tangan sang PJ adalah suatu keharusan. Aneh bukan bila orang yang sudah menyatakan diri sebagai penyusun proposal melalui tanda tangannya, lalu tidak bisa menjelaskan konten tulisan dan RAB yang dibuatnya……

Bagi orang yang berjiwa pengecut, tentu lebih mudah melemparkan tanggung jawab pada orang lain dengan mengatakan “aku nggak tau, si “anu” yang membuat, jadi aku nggak tahu kenapa asumsi itu digunakan dalam proposal ini…..”. Kembali sang PJ berkelit manakala dicecar berbagai hal berkaitan dengan apa yang diajukan dalam proposal. Kalau masih bisa bersembunyi di balik nama orang lain, kenapa harus menanggung resiko sendiri????? Itu lah prinsip dari orang yang berjiwa pengecut. Orang-orang yang tidak berani “menjawab” complain, tidak mau menanggung resiko atas segala sesuatu yang dilakukan/diucapkannya, walau pun itu menjadi tanggungjawabnya. Orang-orang seperti ini cenderung menjadi pribadi yang tidak tegas, dan seringkali menggunakan air mata/wajah “melo” nya sehingga kondisi menjadi dramatis, mengharap belas kasihan orang di sekitarnya, sehingga seolah-olah sang pengecut menjadi orang yang paling berat menanggung beban sebagai PJ sebuah kegiatan, dan stress karena harus mengerjakan berbagai tugas sendirian. Harapannya akan timbul rasa iba dari atasannya, dan terbentuklah persepsi-persepsi yang tidak menguntungkan bagi teman dalam satu tim. Dalam konteks “team work”, orang-orang dengan kepribadian pengecut seperti ini jelas akan sangat merugikan anggota dalam tim tersebut, bahkan bukan tidak mungkin akan menimbulkan persepsi pimpinan seolah-olah ada ketidakkompakan kinerja dalam tim tersebut.

        ***********************************************************************

Kejadian diatas mungkin hanya sebuah contoh kasus kecil yang pernah kita temui di dunia kerja, namun dari situ kita dapat mengambil pelajaran bermakna. Mari kita lihat diri kita, apakah selama ini kita pernah bersikap seperti contoh diatas, atau perilaku-perilaku lain yang bisa disintesiskan dengan contoh ini, atau bahkan mungkin lebih parah lagi?????

Lalu akankah kita membiarkan diri kita menjadi seorang “pengecut” yang seringkali mengakibatkan kerugian bagi orang-orang di sekitar kita????? Akankah kita terus menerus menjadi pribadi yang tidak punya pendirian, dan selalu mencari “kambing hitam” demi keamanan dan kenyamanan diri sendiri????? Sampai kapan kita akan membiarkan diri kita menjadi orang yang tidak peduli pada orang-orang disekitar kita, menyakiti mereka, hanya demi “keselamatan” diri sendiri, padahal orang-orang tersebut telah demikian baik dan senantiasa membantu kita dalam banyak hal???? Pernahkah kita berpikir, bagaimana seandainya kita menjadi “mereka”, menjadi pihak yang dirugikan oleh orang lain hanya karena kepengecutan orang tersebut???? Sakit nggak ya kira-kira……Mari kita berinterospeksi diri. Muhasabah sepertinya  menjadi pilihan yang terbaik bagi kita.

Sadarilah, membiarkan diri menjadi insan dengan jiwa pengecut yang tumbuh subur, hanya akan membuat diri kita menjadi seorang pecundang. Mudah dipermainkan orang, sulit menghadapi persaingan, tak akan pernah dianggap oleh lingkungan sekitar, bahkan mungkin orang akan under estimate pada kita, karena lingkungan sekitar yang sudah sangat paham dengan karakter kita yang tak punya pendirian/sikap. Orang-orang yang tak punya sikap seperti ini akan menjadi duri dalam daging saat harus bekerja sama dalam sebuah tim. Bagaimana tidak, untuk menghindari teguran/complain dari atasan atau pihak lain, “sang pengecut” yang tak punya sikap, bisa saja menggadaikan kekompakan tim nya. Sudah seharusnyalah sikap pengecut seperti ini tidak dipelihara. Jika boleh ekstrim saya katakan, wajib hukumnya bagi kita untuk terus memperbaiki diri menjadi pribadi yang tegar, siap menerima resiko apa pun, serta berani menjawab complain dalam bentuk apa pun dan dari siapa pun seoptimal mungkin. Ketika ada pihak-pihak yang ingin menggali informasi, hindari kata “tidak tau” yang selama ini sering kita gunakan untuk mengamankan diri (tidak mau ambil resiko), padahal sebenarnya kita tau apa yang terjadi. Apalagi jika memang hal yang ditanyakan berkaitan erat dengan tanggung jawab kita. Terlebih lagi jika memang kita lah yang melakukan sebuah kesalahan. Belajarlah untuk berani bersikap, berani mengambil resiko, dan berhentilah menimpakan kesalahan pada orang lain dari sekarang. Ingatlah, orang yang senantiasa bersembunyi dibalik “zona aman” tidak lebih dari seorang pecundang. Maukah kita menjadi pribadi seperti ini??????

Hidup punya banyak pilihan, tentang hal yang baik dan buruk. Tentukan pilihanmu, lakukan yang terbaik!!!! Dan pilihan itu tentu saja adalah “Melatih diri untuk menjadi pribadi yang punya sikap dan keberanian” sebagaimana dicontohkan oleh uswah hasanah kita Nabiyullah Muhammad SAW dalam sabda beliau yang diriwayatkan oleh Tirmidzi seperti tertulis dalam kutipan awal tulisan ini. Semoga kita dapat senantiasa memperbaiki diri, dan terhindar dari jiwa pengecut yang cenderung menimpakan kesalahan pada orang lain, yang pada gilirannya akan merugikan orang-orang di sekitar kita.



)*Edisi bulan galau penuh kecewa

2 komentar:

  1. Allahu Akbar..sangat menggugah jiwa, banyak sekali pelajaran yang dapat saya ambil dari cerita di atas. Semoga kita sebagai insan yang dikaruniai kesabaran, akan mendapat hikmahnya.

    Peringatan juga untuk saya, untuk lebih menjadi tangguh menghadapi apapun.

    Saya senang dengan lugasmu, semoga saya bisa lebih semangat dan banyak belajar dari si penulis.















    BalasHapus
  2. Just share with another........
    Saling mengingatkan dalam kebaikan, insya Allah ukhuwah yang terjalin akan kian bermanfaat, semoga....

    BalasHapus