“Ibu…aku tak berani,
aku malu, aku takut….”
“Takut apa sayang….apa
yang kamu takutkan? Kenapa harus malu? Memangnya adik tidak punya hidung? bu
Devi itu kan baik orangnya, bu Devi tidak pernah galak kan sama adik……..”
Itulah sepenggal percakapan antara seorang bunda
dengan anak keduanya di teras sekolah depan kantor tata usaha. Sang bunda
benar-benar tidak habis pikir, mengapa anaknya yang sekarang sudah duduk di
bangku kelas 4 sekolah dasar, dan sudah 4 tahun berada di sekolah itu, tak
berani masuk ke ruang TU untuk sekedar menyerahkan kartu bayaran SPP nya. Ada
apa dengan anakku? Sulungku saja berani, juga teman-teman sekolahnya, lalu
kenapa dia tidak? Sang bunda hanya bisa
menghela nafas, tak tega memarahi anaknya, lalu digandenglah sang anak menuju
ke ruang TU menemui ibu Devi, TU di sekolah tersebut.
Adalah seorang bunda
yang kemudian menjadi bingung dan tidak mengerti harus bagaimana bersikap pada
putra ke-duanya yang sangat pemalu, cenderung introvert, tidak berani berbicara
didepan banyak orang, walaupun itu di dalam kelasnya yang sudah menjadi
komunitas dalam keseharian, termasuk pada guru kelasnya. Sungguh sangat berbeda
dengan kesehariannya di rumah. Sang bunda resah mendapati anaknya yang jago
kandang, cerewet di rumah, tapi bila sudah berada dilingkungan lain selain
rumahnya, sang anak menjadi diam, melempem seperti kerupuk yang tersiram air.
Memiliki anak yang
sholeh sholehah, cerdas, percaya diri, tidak pemalu adalah impian dari hampir semua
orang tua, …. Pendeknya, dimana pun dia berada, pEdE ajja dah….berani
ngapa-ngapain sendiri, enggak mbuntut terus dibelakang rok sang ibu ketika dia
harus berada di luar rumah. Apalagi kalau tetep kenes saat memasuki lingkungan
baru, walau tanpa ada seorang pun yang dikenalnya. Wah….orang tua mana yang
tidak bangga punya anak seperti ini.
Perilaku percaya diri (confidence/self esteem) merupakan salah satu karakter yang harus dimiliki oleh siapa pun sehingga siap menghadapi kehidupan mendatang
dan sukses di
bidang apa pun yang diimpikan.
Seperti halnya
kemampuan-kemampuan yang lain, perilaku percaya diri harus dipupuk sejak dini, sejak masih anak-anak,
karena ini akan menjadi landasan yang penting dalam fase kehidupan mereka
berikutnya.
Percaya diri/self esteem ini menjadi penting karena ketika seorang individu ingin mengimplementasikan sesuatu, faktor kepercayaan diri inilah motor utamanya. Percaya diri juga identik dengan kemandirian. Orang yang memiliki percaya diri yang stabil cenderung akan memiliki sikap mandiri yang stabil pula. Orang yang percaya diri, merasa yakin akan kapabilitas/kemampuannya melakukan sesuatu.
Lalu bagaimana cara menumbuhkan karakter percaya diri pada anak agar dia dapat tumbuh dengan rasa percaya diri yang mantap?
Dari
artikel yang pernah saya baca, Sarah Henry ahli parenting
dari AS mengemukakan beberapa langkah yang harus dilakukan
orang tua untuk menumbuhkan sikap percaya diri pada anak.
1.
Rasa sayang yang tak terbatas (unconditional love)
Anak-anak yang tumbuh dalam kasih sayang yang berlimpah, cenderung akan
tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri. Ketulusan cinta dan kasih sayang yang
tak terbatas ini akan membuat anak merasa nyaman, walau seperti apa pun tingkah
yang mereka lakukan.
2.
Berikan
batasan yang jelas.
Rasa sayang yang tak terbatas bukan berarti tanpa
aturan. Anak tetap harus tahu
bahwa kesalahan yang dia lakukan akan merugikan orang lain maupun dirinya
sendiri. Buatlah anak menyadari bahwa teguran yang kita berikan ketika mereka
melakukan kesalahan bukanlah pada diri/fisiknya, tapi pada perilakunya yang
tidak tepat. Yang perlu diingat oleh orang tua adalah jangan pernah memberi
label pada anak, misalnya: “anak nakal…” “begini saja tidak bisa, terus kamu
bisanya apa….” dll. Selanjutnya, orang tua harus menjalankan
aturan secara konsisten sebagai penanaman disiplin.
3. Luangkan waktu untuk anak.
Sesibuk apa pun orang tua, seyogyanyalah kita tetap mengalokasikan waktu
untuk berinteraksi dengan anak. Bukan kuantitas, tapi kualitasnya, artinya
usahakan untuk bisa berkomunikasi secara efektif dengan anak, tidak membagi
konsentrasi pada kegiatan lain (terutama pekerjaan kantor) ketika sedang
berinteraksi dengan anak. Bercanda dan tertawalah bersama mereka, dan jangan pernah mentertawakan
kekurangan mereka, apalagi menganggap remeh segala sesuatu yang mereka lakukan
untuk menarik perhatian orang tua. Dengan demikian anak merasa dihargai dan diperhatikan.
4. Dukung anak dalam menghadapi resiko ringan
Dorong anak untuk
mencoba sesuatu yang baru, dan berikan motivasi untuk mempersiapkan mentalnya
jika menghadapi kemungkinan gagal
saat mencoba hal baru tersebut. Misalnya ketika anak belajar memakai sepatu
bertali. Setelah kita ajari cara memakai yang benar, biarkan anak berusaha
melakukannya sendiri. Jangan pernah mengatakan “Biar bunda aja deh yang
memakaikan…” “Kamu lama bener sih make’nya…” Usahakan orang tua tidak terlalu
banyak campur tangan dan biarkan anak menemukan sendiri problem solving dalam
tantangan yang dihadapinya. Walau
mungkin akan susah payah diawal untuk melakukannya, teruslah memotivasinya. Hal
ini akan membuat anak pantang menyerah dan terus berusaha, hingga pada akhirnya
akan menjadi pribadi yang mandiri dan
percaya diri.
5. Hindari membandingkan anak.
Setiap anak adalah unik. Mereka memiliki kelebihan dibalik keunikan
masing-masing. Sangat sering kalimat berisi perbandingan kemampuan anak keluar
tanpa sadar ketika orang tua mendapati anaknya tidak seperti kakak/adiknya. “Kenapa
sih kamu nggak bisa dapat nilai bagus seperti kakak, padahal mama sudah les kan
kamu, sementara kakak dulu enggak…” Atau
perbandingan yang berisi pujian/positif, misalnya: “Wah…kamu memang anak yang
paling pinter, nggak ada tandingannya deh di kota ini, buktinya kamu jadi juara
1 olimpiade matematika di tingkat kabupaten” Perbandingan yang bersifat negatif
jelas akan melukai harga diri anak, sementara perbandingan yang bersifat
positif akan membebani anak, sehingga anak akan merasa sangat gagal dan
tertekan ketika tidak lagi mampu mempertahankan prestasi yang membanggakan
orang tuanya. Biarkan anak tahu bahwa orang tua menghargai apa pun yang dia
miliki.
6. Bersikap empati.
Apabila anak
membandingkan kelemahan dirinya dengan kelebihan temannya, tunjukkan sikap empati dengan penekanan
bahwa dia juga punya kelebihan di samping kekurangan. Misalnya ketika anak mengatakan “ Ma…kenapa ya
nilai matematika ku selalu jelek, nggak kayak Rasyid, padahal aku kan sudah
belajar terus tiap hari?” Orang tua dapat berempati dengan menunjukkan kelebihan anak kita yang tidak dimiliki
orang lain. “Kamu memang tidak pandai matematika, tapi kamu adalah anggota tim
Volly di sekolah yang juga mengharumkan nama sekolah saat PORSENI”. Dengan demikian orang tua menanamkan pemahaman
dalam diri anak bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan, dan dia
tidak perlu merasa kurang karena ketidakmampuannya pada suatu bidang.
7. Berikan motivasi sebagai penyemangat (encouragement).
Setiap anak
memerlukan dukungan dari figur-figur yang ia sayangi, yakni orang tua. Dorongan sebagai kata-kata penyemangat berarti pengakuan
atas usaha yang telah dilakukan oleh anak, sekecil apa pun itu. Jadi, hargai prosesnya, walaupun hasilnya mungkin tidak sesuai dengan harapan. Bukan hanya menghargai hasil akhir saja. Hal
seperti ini akan memotivasi anak untuk percaya pada kemampuannya melakukan
sesuatu.
8. Biarkan
kesalahan terjadi, dan apresiasi setiap kemajuan positif mereka.
Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan. Apalagi anak kita yang
sedang berproses dan belajar menuju fase kehidupan berikutnya. Biarkanlah anak
belajar dari kesalahan, jangan dicaci atau dimarahi. Berilah gambaran bahwa
kesalahan itu muncul karena ketidaksesuaian dia pada aturan yang seharusnya. Misalnya
ketika anak meletakkan alat tulis tidak pada tempatnya dan kemudian dia
mengalami kesulitan ketika ingin menggunakannya lagi. Jangan pula orang tua
merasa jemu untuk mengingatkan anak, karena anak kerapkali akan lalai walau pun
telah berulang kali diingatkan. Selanjutnya berikan apresiasi setiap kali anak
melakukan hal positif, misalnya: “Subhanallah….hari ini Fadhil sudah melakukan
perbuatan baik, karena Fadhil sudah merapikan krayon yang Fadhil gunakan, dan
mengembalikannya ke laci meja belajar. Jadi, kalau besok Fadhil akan mewarnai,
tidak perlu bingung mencarinya lagi ya…..”
9. Jadilah
teman curhat dan pendengar yang baik.
Mungkin suatu saat anak kita ingin bercerita, mencurahkan apa yang saat
itu sedang dirasakannya. Sebagai orang tua kita harus bisa menjadi teman dan
pendengar yang baik, sehingga anak akan merasa dihargai dan dianggap ada. Bantulah
mereka untuk mengidentifikasi perasaanya. Responlah emosi yang sedang mereka
alami apa adanya dengan memahami perasaan mereka, dan jangan pernah menunjukkan
kesan bahwa kita bosan atau tidak tertarik pada masalah yang sedang dihadapi karena
akan membuat anak merasa diremehkan.
Satu hal
yang harus selalu dipahami orang tua, bahwa setiap anak adalah pribadi-pribadi
yang unik. Mereka selalu memiliki kelebihan dibalik
kekurangan yang Allah berikan, dan orang tua lah yang harus mampu mengolahnya
sehingga mereka dapat menemukan kelebihan yang menjadi bargaining power untuk
menjalani proses kehidupan di fase berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar