Selasa, 04 Desember 2012

“PERCAYA DIRI” BAGAIMANA MEMUPUKNYA.



“Ibu…aku tak berani, aku malu, aku takut….”
“Takut apa sayang….apa yang kamu takutkan? Kenapa harus malu? Memangnya adik tidak punya hidung? bu Devi itu kan baik orangnya, bu Devi tidak pernah galak kan sama adik……..”
Itulah  sepenggal percakapan antara seorang bunda dengan anak keduanya di teras sekolah depan kantor tata usaha. Sang bunda benar-benar tidak habis pikir, mengapa anaknya yang sekarang sudah duduk di bangku kelas 4 sekolah dasar, dan sudah 4 tahun berada di sekolah itu, tak berani masuk ke ruang TU untuk sekedar menyerahkan kartu bayaran SPP nya. Ada apa dengan anakku? Sulungku saja berani, juga teman-teman sekolahnya, lalu kenapa dia tidak?  Sang bunda hanya bisa menghela nafas, tak tega memarahi anaknya, lalu digandenglah sang anak menuju ke ruang TU menemui ibu Devi, TU di sekolah tersebut.
Adalah seorang bunda yang kemudian menjadi bingung dan tidak mengerti harus bagaimana bersikap pada putra ke-duanya yang sangat pemalu, cenderung introvert, tidak berani berbicara didepan banyak orang, walaupun itu di dalam kelasnya yang sudah menjadi komunitas dalam keseharian, termasuk pada guru kelasnya. Sungguh sangat berbeda dengan kesehariannya di rumah. Sang bunda resah mendapati anaknya yang jago kandang, cerewet di rumah, tapi bila sudah berada dilingkungan lain selain rumahnya, sang anak menjadi diam, melempem seperti kerupuk yang tersiram air.
Memiliki anak yang sholeh sholehah, cerdas, percaya diri, tidak pemalu adalah impian dari hampir semua orang tua, …. Pendeknya, dimana pun dia berada, pEdE ajja dah….berani ngapa-ngapain sendiri, enggak mbuntut terus dibelakang rok sang ibu ketika dia harus berada di luar rumah. Apalagi kalau tetep kenes saat memasuki lingkungan baru, walau tanpa ada seorang pun yang dikenalnya. Wah….orang tua mana yang tidak bangga punya anak seperti ini.

Perilaku percaya diri (confidence/self esteem) merupakan salah satu karakter yang harus dimiliki oleh siapa pun sehingga siap menghadapi kehidupan mendatang dan  sukses di bidang apa pun yang diimpikan. Seperti halnya kemampuan-kemampuan yang lain, perilaku percaya diri harus dipupuk sejak dini, sejak masih anak-anak, karena ini akan menjadi landasan yang penting dalam fase kehidupan mereka berikutnya.
Mengapa percaya diri itu perlu?
Percaya diri/self esteem ini menjadi penting karena ketika seorang individu ingin mengimplementasikan sesuatu, faktor kepercayaan diri inilah motor utamanya. Percaya diri juga identik dengan kemandirian. Orang yang memiliki percaya diri yang stabil cenderung akan memiliki sikap mandiri yang stabil pula. Orang yang percaya diri, merasa yakin akan kapabilitas/kemampuannya melakukan sesuatu.

Lalu  bagaimana cara menumbuhkan karakter percaya diri pada anak agar dia dapat tumbuh dengan rasa percaya diri yang mantap?

Dari artikel yang pernah saya baca, Sarah Henry ahli parenting dari AS mengemukakan beberapa  langkah yang harus dilakukan orang tua untuk menumbuhkan sikap percaya diri pada anak.
1.      Rasa sayang yang tak terbatas (unconditional love)
Anak-anak yang tumbuh dalam kasih sayang yang berlimpah, cenderung akan tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri. Ketulusan cinta dan kasih sayang yang tak terbatas ini akan membuat anak merasa nyaman, walau seperti apa pun tingkah yang mereka lakukan.
2.      Berikan batasan yang jelas.
Rasa sayang yang tak terbatas bukan berarti tanpa aturan. Anak tetap harus tahu bahwa kesalahan yang dia lakukan akan merugikan orang lain maupun dirinya sendiri. Buatlah anak menyadari bahwa teguran yang kita berikan ketika mereka melakukan kesalahan bukanlah pada diri/fisiknya, tapi pada perilakunya yang tidak tepat. Yang perlu diingat oleh orang tua adalah jangan pernah memberi label pada anak, misalnya: “anak nakal…” “begini saja tidak bisa, terus kamu bisanya apa….” dll. Selanjutnya, orang tua harus menjalankan aturan secara konsisten sebagai penanaman disiplin.
3.     Luangkan waktu untuk anak.
Sesibuk apa pun orang tua, seyogyanyalah kita tetap mengalokasikan waktu untuk berinteraksi dengan anak. Bukan kuantitas, tapi kualitasnya, artinya usahakan untuk bisa berkomunikasi secara efektif dengan anak, tidak membagi konsentrasi pada kegiatan lain (terutama pekerjaan kantor) ketika sedang berinteraksi dengan anak. Bercanda dan tertawalah bersama mereka, dan jangan pernah mentertawakan kekurangan mereka, apalagi menganggap remeh segala sesuatu yang mereka lakukan untuk menarik perhatian orang tua. Dengan demikian anak merasa dihargai dan diperhatikan.
4.     Dukung anak dalam menghadapi resiko ringan
Dorong anak untuk mencoba sesuatu yang baru, dan berikan motivasi untuk mempersiapkan mentalnya jika menghadapi kemungkinan gagal saat mencoba hal baru tersebut. Misalnya ketika anak belajar memakai sepatu bertali. Setelah kita ajari cara memakai yang benar, biarkan anak berusaha melakukannya sendiri. Jangan pernah mengatakan “Biar bunda aja deh yang memakaikan…” “Kamu lama bener sih make’nya…” Usahakan orang tua tidak terlalu banyak campur tangan dan biarkan anak menemukan sendiri problem solving dalam tantangan yang dihadapinya.  Walau mungkin akan susah payah diawal untuk melakukannya, teruslah memotivasinya. Hal ini akan membuat anak pantang menyerah dan terus berusaha, hingga pada akhirnya akan menjadi pribadi  yang mandiri dan percaya diri.
5.     Hindari  membandingkan anak.
Setiap anak adalah unik. Mereka memiliki kelebihan dibalik keunikan masing-masing. Sangat sering kalimat berisi perbandingan kemampuan anak keluar tanpa sadar ketika orang tua mendapati anaknya tidak seperti kakak/adiknya. “Kenapa sih kamu nggak bisa dapat nilai bagus seperti kakak, padahal mama sudah les kan kamu, sementara kakak dulu enggak…”  Atau perbandingan yang berisi pujian/positif, misalnya: “Wah…kamu memang anak yang paling pinter, nggak ada tandingannya deh di kota ini, buktinya kamu jadi juara 1 olimpiade matematika di tingkat kabupaten” Perbandingan yang bersifat negatif jelas akan melukai harga diri anak, sementara perbandingan yang bersifat positif akan membebani anak, sehingga anak akan merasa sangat gagal dan tertekan ketika tidak lagi mampu mempertahankan prestasi yang membanggakan orang tuanya. Biarkan anak tahu bahwa orang tua menghargai apa pun yang dia miliki.
6.      Bersikap empati.
Apabila anak membandingkan kelemahan dirinya dengan kelebihan temannya, tunjukkan sikap empati dengan penekanan bahwa dia juga punya kelebihan di samping kekurangan. Misalnya ketika anak mengatakan “ Ma…kenapa ya nilai matematika ku selalu jelek, nggak kayak Rasyid, padahal aku kan sudah belajar terus tiap hari?” Orang tua dapat berempati dengan menunjukkan kelebihan anak kita yang tidak dimiliki orang lain. “Kamu memang tidak pandai matematika, tapi kamu adalah anggota tim Volly di sekolah yang juga mengharumkan nama sekolah saat PORSENI”.  Dengan demikian orang tua menanamkan pemahaman dalam diri anak bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan, dan dia tidak perlu merasa kurang karena ketidakmampuannya pada suatu bidang.
7.     Berikan motivasi sebagai penyemangat (encouragement).
Setiap anak memerlukan dukungan dari figur-figur yang ia sayangi, yakni orang tua. Dorongan sebagai kata-kata penyemangat berarti pengakuan atas usaha yang telah dilakukan oleh anak, sekecil apa pun itu. Jadi, hargai prosesnya, walaupun hasilnya mungkin tidak sesuai dengan harapan. Bukan hanya menghargai hasil akhir saja. Hal seperti ini akan memotivasi anak untuk percaya pada kemampuannya melakukan sesuatu.
8.     Biarkan kesalahan terjadi, dan apresiasi setiap kemajuan positif mereka.
Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan. Apalagi anak kita yang sedang berproses dan belajar menuju fase kehidupan berikutnya. Biarkanlah anak belajar dari kesalahan, jangan dicaci atau dimarahi. Berilah gambaran bahwa kesalahan itu muncul karena ketidaksesuaian dia pada aturan yang seharusnya. Misalnya ketika anak meletakkan alat tulis tidak pada tempatnya dan kemudian dia mengalami kesulitan ketika ingin menggunakannya lagi. Jangan pula orang tua merasa jemu untuk mengingatkan anak, karena anak kerapkali akan lalai walau pun telah berulang kali diingatkan. Selanjutnya berikan apresiasi setiap kali anak melakukan hal positif, misalnya: “Subhanallah….hari ini Fadhil sudah melakukan perbuatan baik, karena Fadhil sudah merapikan krayon yang Fadhil gunakan, dan mengembalikannya ke laci meja belajar. Jadi, kalau besok Fadhil akan mewarnai, tidak perlu bingung mencarinya lagi ya…..”
9.     Jadilah teman curhat dan pendengar yang baik.
Mungkin suatu saat anak kita ingin bercerita, mencurahkan apa yang saat itu sedang dirasakannya. Sebagai orang tua kita harus bisa menjadi teman dan pendengar yang baik, sehingga anak akan merasa dihargai dan dianggap ada. Bantulah mereka untuk mengidentifikasi perasaanya. Responlah emosi yang sedang mereka alami apa adanya dengan memahami perasaan mereka, dan jangan pernah menunjukkan kesan bahwa kita bosan atau tidak tertarik pada masalah yang sedang dihadapi karena akan membuat anak merasa diremehkan.

Satu hal yang harus selalu dipahami orang tua, bahwa setiap anak adalah pribadi-pribadi yang   unik. Mereka selalu memiliki kelebihan dibalik kekurangan yang Allah berikan, dan orang tua lah yang harus mampu mengolahnya sehingga mereka dapat menemukan kelebihan yang menjadi bargaining power untuk menjalani proses kehidupan di fase berikutnya. 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar