Tunas muda generasi Rabbani |
25 November lalu, insan pendidikan atau siapa pun yang
peduli pada pendidikan mengenalnya sebagai Hari Guru Nasional. Berbagai hal dilakukan di sekolah-sekolah untuk memberikan
apresiasi pada guru-gurunya, ada yang memberikan puisi, ada yang membuat bunga lalu diberikan pada sang guru favorit, sampai pemberian cindera mata dari sekolah/komite
sekolah pada seluruh guru.
Wah....senangnya bapak dan ibu guru mendapat apresiasi
seperti ini. Namun disela rasa haru dan bahagia ini, tiba-tiba aku teringat pada
sebuah perbincangan dengan rekan kerjaku, begini statementnya...
"Jaman dulu
itu, guru sangat disegani, nggak ada deh yang namanya murid berani ngejawab saat
ditegur oleh sang guru, tapi sekarang......kok nggak ya mbak, kenapa ya?" "Padahal guru2 jaman dulu itu angker2 lho....."
(kuburan kali
angker....^_^, maaf, bukan berarti aku melabel sesuatu yang tidak baik untuk para guru, atau bermaksud tidak sopan.....)
Perbincangan kami saat itu belum sampai pada sebuah
kesimpulan, karena terpotong oleh kewajiban menyelesaikan tugas-tugas administrasi
yang lain, dan sampai saat kubuat tulisan ini pun, aku belum sempat melanjutkan
diskusi kami yg tertunda saat itu, padahal tiap hari ketemu lho……^_^ Ketika itu jawaban yang sempat terlontar dari bibirku adalah
bahwa “Pendidikan jaman dulu dan sekarang telah mengalami pergeseran nilai”. Aku tidak tau apakah ini benar atau
tidak…..(karena aku belum melakukan survey, hanya sebatas speak-speak bombay ku
ajja, heheheheee….)
Profil seorang guru jaman dulu adalah sosok yang sangat
dihormati, punya kharisma tersendiri, figur yang layak menjadi panutan,
dianggap sbg tokoh yang memiliki pengetahuan lebih daripada orang-orang disekitarnya,
dan mampu mengajarkan nilai-nilai moral terhadap anak didiknya, selain kemampuan
baca tulis tentu saja.
Guru pada jaman dahulu pun lebih mengedepankan pendekatan personal dalam mendidik, menempatkan anak didiknya seperti bagian dari keluarganya. Karena siswa telah dianggap sebagai anak dalam pengertian keluarga maka dalam mendidik siswa, seorang guru menlakukannya dengan rasa kasih sayang, keikhlasan, kejujuran, keagamaan, dan dalam suasana kekeluargaan. Dalam konteks ini, seorang guru menempatkan diri bukan sebagai seorang karyawan sebuah institusi yang harus mengajar dalam jadwal tertentu yang adat, tetapi guru tersebut menempatkan dirinya sebagai orang tua yang sedang membimbing dan mengasuh anaknya. Sikap asah asih dan asuh yang ditransfer oleh sang guru dalam kegiatan pembelajaran inilah yang kemudian menanamkan nilai-nilai bijak yang tercermin dalam kehidupan siswa sehari-hari dalam bermasyarakat, sehingga walau pun guru-guru jaman dulu sering kali terlihat garang, disiplin, dan galak, namun yang terasa dalam diri siswa adalah ketegasannya dan kemudian siswa menyadari bahwa semua yang dilakukan oleh sang guru adalah untuk keberhasilannya.
Sementara untuk saat ini, bagaiman dengan kita rekan-rekan guru ????
Maaf …….bukan berarti aku
mengatakan rekan-rekan guru jaman sekarang tidak menyampaikan ilmu dengan kasih
sayang dan keikhlasan, sehingga anak didik kita tak mampu menangkap pesan moral
yang kita sampaikan dibalik kegiatan belajar mengajar yang kita lakukan, sama
sekali tidak. Aku hanya ingin mengajak kita semua untuk merefleksi diri, sejauh
perjalanan panjang kita berkiprah di dunia pendidikan saat ini, semampu apakah
diri kita menanamkan norma-norma keagamaan dan etika hidup melalui pembiasaan baik di
lingkungan sekolah, dapat berimbas dalam kehidupan anak didik kita secara
berkesinambungan……
Kita semua sadar, bahwa kita tidak mungkin dapat menghindarkan diri dari globalisme industrial yang sarat dengan nilai kompetitif individual, dimana hal ini membuat tata perilaku dalam kehidupan bermasyarakat pun berbeda antara dulu dan sekarang. Pola pikir, cara bersikap dan bertingkah laku seseorang pun mau tidak mau akan mengalami pergeseran, sehingga hal ini akan berpengarah pula pada sikap anak-anak didik kita di sekolah.
Tak bisa dipungkiri pula bahwa tuntutan orang tua sebagai stakeholder pendidikan di sekolah yang cenderung mengedepankan aspek kognitif dalam menilai keberhasilan anaknya sering kali membuat kita para guru terperangkap dalam ritme pembelajaran yang berfokus pada pengetahuan dan bagaimana caranya agar anak didik kita bisa lulus ujian nasional.
Akibatnya, pendidikan yang kita lakukan tidak ada bedanya dengan bimbel, hanya merupakan proses persiapan mengikuti ujian nasional saja. Lantas bagaimana dengan attitude, behavior, dan kecerdasan spiritual mereka ????? Sungguh sangat menyakitkan manakala terjadi tawuran pelajar, guru kemudian menjadi aktor yang paling dipersalahkan. Tentunya masyarakat berharap penanaman norma positif terhadap generasi muda dapat dilakukan di sebuah institusi pendidikan yang bernama "SEKOLAH" dan kita lah para guru yang menjadi ujung tombaknya.
Mau tidak mau, suka tidak suka,
ini menjadi bagian dari tanggungjawab kita sebagai pendidik.
Benarkah ini semua terjadi
salah satunya karena siswa tak melihat figur yang patut dicontoh selama proses
pembelajaran di sekolah ?????
Rekan-rekan guru, diantara 4
kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah kompetensi kepribadian.
Sebagai seorang guru, guru harus memiliki kepribadian yang mantap, berakhlak
mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan bagi siswa didiknya. Sebagai seorang muslim, kita tau uswah hasanah
kita adalah Rosulullah Muhammad SAW. Tentu tidak mungkin bila kita hendak
menyamakan diri dengan beliau yang memiliki sifat ma’sum, namun setidaknya
sebagai ummatnya, mengikuti sunnah beliau adalah suatu keutamaan.
Kini, saatnya kita memulai berbenahi diri,
melakukan kegiatan pembelajaran dengan keteladanan dan penuh kasih sayang
kepada anak didik kita. "TEACHING WITH LOVE" Mendidik tanpa cacian dan hinaan saat anak didik kita
melakukan kesalahan, dan segera memberikan apresiasi saat mereka melakukan
keberhasilan, sekecil apa pun. Jangan pelit untuk mengeluarkan pujian, seperti itu barangkali cara mudahnya……..^_^
Semoga saja keteladanan yang terlihat dalam keseharian sang guru serta contoh kasih sayang
yang tulus kita berikan pada mereka setiap saat akan membuat mereka merasa percaya diri,
menyayangi orang-orang disekitarnya, menghargai orang lain terutama orang tua dan
guru, serta norma-norma positif lain yang akan membuat mereka tidak hanya memiliki
kecerdasan intelektual, namun juga cerdas emosi dan spiritualnya, sehingga
cita-cita kita untuk mendidik generasi Khairunnas (manusia yang baik) akan terwujud,
dengan pertolongan Allah tentunya……..
Insya Allah……
Tidak ada komentar:
Posting Komentar