Senin, 17 Desember 2012

Siswa “CEMAS BERLEBIHAN” Mengapa? Bagaimana Guru Menghadapinya?

saat-saat sulit buat mereka, bagaimana seharusnya guru bersikap?

“Ibu guru kita mau ngapain ke lantai III ?”  Begitu ucap salah satu murid dengan suara terbata dan mata yang mulai ngembeng (mau nangis…^_^). Wajahnya pun mulai memerah. Maklum kulitnya putih, jadi sedikit saja kena sinar matahari, marah, atau sedih, maka wajahnya akan memerah. “Khumairoh” dong…..^_^ 
Setiap kali sekolah mengadakan kegiatan bersama di luar kelas, entah di sport hall lantai III, di Saung (semacam ruang terbuka tanpa dinding, dan hanya ada atap) atau pun di masjid sekolah ketika akan melaksanakan sholat Jum’at berjamaah, Raditya salah seorang siswa kelas 1  selalu saja menghampiri gurunya sambil mengucapkan kata-kata favorit seperti di atas. Dengan wajah penuh kecemasan, dan roman muka penuh kesedihan, dia akan bertanya pada sang guru kenapa kita harus keluar kelas, kenapa kita harus bersama dengan kakak kelas, sampai jam berapa kita berada di tempat itu (tempat selain kelas untuk sebuah kegiatan bersama seluruh siswa), dll. Jika hal seperti ini terjadi diawal masuk sekolah, tentu bukanlah suatu hal yang aneh, namun karena hal seperti ini berlangsung terus menerus, bahkan sampai semester 1 habis, maka hal ini tentu saja membuat sang guru menjadi bertanya-tanya. Ada apa sebenarnya dengan Raditya ??? 

Adalah Raditya seorang siswa kelas 1 SD yang setiap hari selalu berangkat sekolah diantar oleh ayahnya. Radit tak pernah mau ditinggal sendiri di sekolah, sebelum salah satu guru kelasnya datang, walau pun sebenarnya teman sekelasnya sudah banyak yang datang dan mengajaknya bermain. Demikain pula dengan guru piket yang setiap pagi senantiasa menyambut kedatangan seluruh siswa di gerbang sekolah.  Jadi terpaksalah sang ayah menemani sampai sang guru kelas anaknya nongol. 

Waktu istirahat adalah waktu yang sangat dinanti oleh seluruh siswa, karena mereka bisa bebas bermain di play ground, bermain bola, kejar-kejaran dengan teman, atau apa saja yang membuat anak-anak ini bergerak bebas. Namun bagi Radit saat itu bukanlah saat yang menyenangkan. Ia tidak tertarik bila harus berebut bola dengan temannya, bahkan untuk sekedar bermain ayunan pun dia tak berminat. Ia lebih suka berada di kelas. Namun ia pasti akan disuruh  keluar oleh guru di kelas, karena waktu istirahat adalah waktunya anak-anak berada di luar kelas untuk bermain bebas. 

Jika dilihat dari kematangan usia, Radit sudah 6.5 tahun, artinya usianya sudah cukup siap untuk masuk ke SD. Demikian pula dengan kemampuan kognitifnya. Radit sudah sangat siap, tulisannya rapi dan bagus, juga proporsional. Berhitung….Radit juga sudah bisa, menjumlahkan 2 bilangan sampai hasilnya 20 bahkan (wah….enak banget tuh gurunya…..^_^).  Pendek kata, semua tugas yang diberikan secara terstruktur, pasti akan dapat diselesaikan dalam waktu singkat dengan jawaban yang relatif tepat. Namun jika Radit diminta menuliskan jurnal yang berisi kegiatan sehari-hari yang sudah dilakukan, atau menggambar bebas dan mewarnai sesuka hati……oh no….jangan ditanya deh….tidak sampai 5 menit Radit pasti akan memanggil sang guru sambil berkata “ Ibu….ini ngerjainnya kayak mana, aku nggak ngerti, nggambarnya kayak mana bu….” dan pastinya ucapan itu disertai juga dengan mata yang sudah ngembeng, hampir jatuh air matanya…..Belum lagi jika sekolah mengadakan acara bersama di ruang serba guna yang melibatkan seluruh siswa dari kelas 1 sampai 6. Gelisah luar biasa jelas akan tersirat di wajah Radit.

“Cemas berlebihan” itulah komentar dari psikolog di sekolah ketika mendengar cerita sang guru tentang sosok Raditya. Lalu bagaimana guru harus mengatasi ini ? Apa sebenarnya yang menyebabkan seorang anak berperilaku seperti ini ? Benarkah ini berkorelasi dengan pola asuh over protective orang tua?

Penyebab timbulnya rasa “Cemas” ternyata sangat beragam. Perasaan cemas berlebihan bisa saja timbul ketika anak baru mulai masuk sekolah (SD),  pindah rumah baru, berinteraksi dengan pembantu rumah tangga baru, kehilangan anggota keluarga yang dicintai, atau bahkan karena kehilangan binatang kesayangannya, dll. Pada kasus Raditya, kecemasan ini muncul karena harus berpisah dengan orang yang disayangi, yaitu ayah dan bundanya, dan ini adalah hal yang wajar. Tanpa orang yang ia kenal di dekatnya, anak bisa merasa khawatir dan tidak aman. Namun bagaimana dengan kecemasan berlebihan yang muncul ketika akan beraktifitas di luar kelas?  Radit sebenarnya sudah cukup merasa nyaman dengan guru kelasnya, namun  ternyata tidak ketika ia harus berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas. Berdasarkan data base sekolah, diketahui bahwa Raditya adalah anak tunggal dari sepasang suami istri yang agak telat dapat momongan (“anak boleh pengen” gitu deh…..^_^).  Bisa dibilang Radit sangat cukup mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya, berlebih bahkan. Kemana pun Radit pergi pasti akan didampingi oleh ayah/bundanya. Tak satu pun keinginannya yang tidak dipenuhi. Hari-hari dilalui Radit dengan aturan yang ketat. Segala sesuatunya sudah diatur oleh sang bunda, tanpa ada tawar menawar. Begitu sayangnya bunda dan ayah Radit pada anak semata wayangnya ini, hingga Radit diperlakukan bak kristal yang tak boleh lecet sedikit pun. Ibaratnya keluar dari pintu rumah sampai ke halaman depan saja tak boleh dilakukan sendiri. Takut Radit akan mengalami sesuatu yang tak menyenangkan. Saking takutnya sang bunda, sampai-sampai Radit tak pernah bermain diluar pagar rumahnya, apalagi bila tak didampingi oleh sang bunda/ayah.  Radit hanya boleh bermain di rumah. Itu pun tetap dengan aturan yang ketat. Tidak boleh begini, tidak boleh begitu, harus begini, harus begitu, dan sederet aturan lagi yang mesti dijalankan oleh Radit kecil ini. Akibatnya Radit cenderung menjadi anak yang terlalu berhati-hati. Tidak berani mencoba hal baru, takut melakukan kesalahan hingga kreativitasnya pun terpasung, tidak berani bersosialisasi terhadap lingkungan di luar komunitas kelasnya tanpa didampingi oleh orang dewasa yang sudah dikenalnya dengan baik (dalam hal ini guru kelas), dan ini berujung pada perasaan cemas berlebihan yang senantiasa muncul ketika melakukan kegiatan klasikal di luar kelas.

Sikap over protective orang tua, benarkah ini berkorelasi?

Tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya. Setiap orang tua pasti ingin memberikan rasa nyaman pada anak, memberikan perlindungan seoptimal mungkin, sehingga anaknya bisa berkembang menjadi anak yang baik tanpa harus menghadapi masalah. Untuk itu orang tua akan melakukan apa pun yang dianggap terbaik bagi anaknya (tindakan over protective), tanpa menyadari bahwa orang tua telah memaksakan kehendak kepada anak karena apa yang diinginkan orang tua harus dijalankan oleh anak tanpa bertanya dan berpikir terlebih dahulu apakah sang anak suka atau tidak. 

Selain memaksakan kehendak, sikap over protective orang tua menunjukkan adanya rasa khawatir yang tinggi pada anak. Khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada anak itu boleh saja, dan ini adalah suatu hal yang sangat wajar. Semua orang tua pasti memiliki perasaan seperti ini, pada orang tua yang over protektif dengan tingkat kecemasan yang tinggi dan kekurangpiawaian orang tua mengendalikannya, akan memberikan dampak yang kurang baik juga bagi perkembangan anak. Anak akan menjadi tidak kreatif dan mandiri. Mereka akan cenderung merasa takut untuk melakukan permainan yang sifatnya spontan dan berhubungan dengan fisik, misalnya saat bermain di luar, anak akan merasa tidak nyaman, seperti ada ancaman terhadap dirinya karena demikian banyak anak yang berlari berkejaran (bisa jadi takut tersenggol, takut jatuh, dll). Artinya kekhawatiran orang tua yang berlebihan akan membuat anak merasa cemas pula, sehingga ia pun ingin tetap bertahan pada zona nyaman yang telah dibentuk oleh orang tua selama ini. 

Sikap over protektif juga akan membuat anak menjadi tidak mandiri, sangat tergantung pada orang tuanya atau orang dewasa lain di sekolah yang sudah dikenalnya (guru kelas). Hal ini terjadi karena selama ini anak selalu ditemani kemana pun dia pergi, tidak diberi kebebasan dan selalu diatur sesuai keinginan orang tua. Sehingga sesuatu yang sebenarnya bisa dilakukannya sendiri, menjadi tidak bisa dilakukan, karena memang dia tidak terbiasa melakukannya sendiri di rumah, selalu dibantu orang tua dan menjadi anak yang manja. Ini bukanlah kebiasaan yang baik, dan ketika anak semakin besar nanti, orang tua pun akan mengalami kesulitan mendapati ketidakmandirian mereka yang tanpa sengaja telah diciptakan sendiri oleh orang tua. 

Menjadi orang tua yang senantiasa memberi perhatian pada anak bukan berarti orang tua menjadi bayang-bayang pengintai setiap saat kemana dan dimana pun mereka berada. Sudah seharusnya orang tua memberikan kepercayaan bahwa anaknya mampu melakukan banyak hal. Beri mereka kesempatan untuk melakukan segala sesuatu sendiri, mencoba berbagai hal sendiri, dan menemukan problem solving bagi permasalahan yang dihadapinya. Manakala mereka tidak lagi sanggup menghadapi dan membutuhkan bantuan orang tua, saat itulah orang tua menunjukkan bagaimana seharusnya anak kita menyelesaikan masalahnya. Dengan memberi kebebasan pada anak untuk melakukan banyak hal, maka orang tua juga sekaligus telah mengajarkan tanggungjawab, karena anak akan memahami konsekuensi atas segala sesuatu yang dia lakukan.

Bagaimana sebaiknya guru menghadapi si “Pencemas”?

“Cemas berlebihan” ini tentu saja akan mengganggu kondusifitas kelas, karena si anak akan menangis, menyita energi guru lebih banyak, dan mungkin bisa saja membuat teman-teman lainnya tidak nyaman. Beberapa hal yang dapat dilakukan guru diantaranya adalah:
o Hentikan tangisnya, tunjukkan empati bahwa gurunya memahami kecemasan yang dihadapinya. Guru dapat mencoba menenangkan siswa dengan memegang kedua tangannya, lalu menyatakan kalimat yang membuat anak merasa lebih diperhatikan, misalnya: “Kamu sedih ya nak….ibu guru tahu kok, tapi kalau kamu terus menangis nanti lehermu sakit lho…sekarang berhenti menangis ya, lalu kita bicara…..”
o Ajak bicara setelah anak mampu mengendalikan emosi dan tidak lagi menangis. Satu hal yang harus dipahami, si “pencemas” akan kian cemas bila guru langsung membeberkan sederet aturan yang harus diikutinya di kelas, oleh karena itu sebaiknya guru tidak memaksanya. Bicaralah perlahan, arahkan pada beberapa hal yang dapat mendukung norma/aturan yang akan kita sampaikan.
o Temani si “Pencemas” bermain di luar ketika waktu istirahat, dengan tujuan mengenal lebih dekat lingkungan barunya. Bantulah dia untuk dapat menemukan teman sebanyak mungkin, lalu secara bertahap biarkan dia melakukan kegiatan bermain di luar tanpa didampingi guru kelas, namun tetap dalam pemantauan orang dewasa lain yang bertugas sebagai duty area (guru piket misalnya).
o Kondisikan si “pencemas” secara personal bila akan mengadakan kegiatan bersama secara klasikal di luar kelas. Beri gambaran sedetail mungkin tentang kegiatan bersama yang akan dilakukan, siapa saja yang akan ada dalam ruangan tersebut, apa saja yang akan dia lakukan, sampai jam berapa kegiatan berlangsung, bahkan jika perlu jelaskan pula apa manfaat dari kegiatan tersebut. Pada tahap awal tentu saja guru masih harus mendampingi si “pencemas”, namun bila pengendalian emosinya terlihat sudah lebih stabil, guru bisa memberi pengertian bahwa dia bisa duduk sendiri dalam barisan bersama teman-teman sekelasnya, dan ibu guru harus berada di barisan belakang. Yakinkan dia bahwa bu guru tetap mengawasinya dari belakang, untuk itu sebaiknya bu guru mengambil tempat yang bisa dilihat oleh si “pencemas” sehingga dia pun akan merasa tenang. Secara perlahan anak pun akan dapat mengatasi rasa cemasnya sendiri.
)*Semoga Bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar