Jumat, 21 Desember 2012

Wanita tangguh itu adalah “IBUKU…”


Mengisi hari pertama liburanku, Alhamdulillah setelah selesai masak, aku punya banyak waktu untuk menuangkan isi hatiku lewat tulisan.  Setelah ku pencet setting wireless network conection di netbook ku agar bisa masuk dalam jaringan WIFI di rumah,  akhirnya netbook murahanku pun mendapatkan sinyal, sesudah itu biasanya aku akan segera membuka google untuk mencari berita apa saja yang sedang “in” dan cukup menarik perhatianku dalam berbagai situs. Tapi entah kenapa kali ini aku tak tertarik untuk berselancar di dunia maya. Aku lebih tertarik membuka file-file lama dan foto-foto dalam setiap folder yang ada di drive D netbook ku. Begitu lancar tanganku meng-klik mouse hingga sampai aku  pada sebuah foto lama keluarga besarku. Ya……foto lebaran terakhirku bersama Almarhum bapak. Tepatnya ketika aku masih duduk dibangku kelas 4 SD, karena bapak meninggal tidak sampai setahun sesudahnya, pas aku baru saja naik ke kelas 5 SD.

Tidak terasa, bulir-bulir bening mengalir membasahi kedua pipiku. Bagai sebuah video, kehidupan masa kecilku tiba-tiba saja berputar jelas dan nyata dalam benakku. Aku, seorang gadis kecil dengan 7 saudara yang semuanya adalah kakakku. Kami adalah 8 bersaudara, 7 perempuan termasuk aku, dan hanya 1 saja yang laki-laki, kakak keduaku. Keluargaku bukanlah keluarga yang kaya, almarhum bapak adalah seorang karyawan Dinas Pendidikan dan ibuku seorang kepala sekolah sebuah SMP Negeri. Ketika bapak meninggal, baru 1 orang kakakku yang sudah berumah tangga. Otomatis ibu menjadi single parent yang harus membesarkan  kami, 7 orang anaknya, 3 orang di Perguruan Tinggi (yang Alhamdulillah semuanya adalah PTN, jadi agak murah biaya sekolahnya), 1 orang di SMA, 2 orang di SMP dan aku yang masih  SD. Begitu bapak meninggal, ibu memutuskan untuk memindahkanku ke SD di kota tempat ibu bekerja bersama 2 orang kakakku yang sudah lebih dulu pindah ke SMP  dimana ibuku menjadi kepala sekolah. Tinggallah kakakku dikota kelahiranku sendirian, karena pada saat itu dia sudah kelas 3 SMA dan akan menghadapi Ujian kelulusan. Berat tentunya buat dia jika harus beradaptasi disaat mau kelulusan begitu.

Mulailah aku dan saudara-saudaraku menjalani hari tanpa bapak. Walau pun saat itu aku tak begitu paham tentang arti sebuah kematian dan kehilangan orang yang dicintai, namun jelas sekali aku melihat betapa sulitnya ibu melalui hari-harinya.  Tidak hanya sulit secara ekonomi, tapi yang jelas lebih terasa adalah  sulit secara psikologis, merampungkan tanggung jawab pada anak-anak tanpa didampingi suami tercinta.  Namun seiring bergulirnya waktu, aku melihat sedikit demi sedikit ibu mulai tegar meneruskan perjuangan membesarkan 7 amanah Allah yang masih membutuhkan bimbingannya.  Ibu tak kenal lelah mencari uang untuk menghidupi kami. Setelah ibu mutasi jabatan ke pinggiran kota kelahiranku,  aku dan kedua kakakku pun kembali menempati rumah kami yang dulu. Sedang ibu sendiri, nglaju naik bis ke tempat kerjanya setiap hari.  Berangkat pagi hari, dan sore menjelang malam barulah beliau pulang.  Praktis waktu ibu untuk kami (aku dan kedua kakakku) hampir bisa dikatakan tidak ada, karena malam setelah beliau di rumah, tentu istirahatlah yang jadi pilihan karena lelahnya beraktivitas diluar seharian. Tugas kerumahtanggaan memang lebih banyak diselesaikan oleh bu  dhe ku yang ikut keluargaku sejak aku masih belum sekolah dulu. Masak, makan, main, mandi, lebih sering aku lalui bersama bu dhe ku ini. Jujur aku katakan, aku memang tak sepenuhnya dapat merasakan kasih sayang ibu. Kesibukan beliau mencari uang agar kami bisa terus sekolah  telah demikian menyita waktu ibu. Alhamdulillah, karena kasih sayang Allah, tak satu pun dari kami anak-anaknya yang kemudian melenceng dan menjadi anak yang bengal karena kurangnya perhatian ibu pada kami. Walau pun saat itu masih kecil, aku bisa merasakan kebesaran jiwa, kesabaran, keihklasan dan kepasrahan ibu menjalani hidup menularkan energi positif pada kami anak-anaknya. Tanpa dipaksa atau diceramahi panjang lebar, Alhamdulillah kami semua sadar bahwa kami harus belajar hidup prihatin agar bisa menjadi orang yang sukses. Jelas….tak mungkin bagi kami bisa menyelesaikan kuliah jika tak mau hidup prihatin. Setiap tahunnya ibu harus menguliahkan setidaknya 4 orang anak, karena memang usia kami tidak  terpaut jauh satu sama lain. Hanya ketika aku sudah kuliah di tahun ke 3 sajalah ibu membiayai 3 orang, karena aku memang anak bungsu. Tak bisa aku bayangkan, bagaimana perasaan ibu saat aku dan kedua kakakku pulang akhir bulan meminta jatah uang bulanan ketika kami kuliah dulu. Aku sangat yakin, disatu sisi beliau senang bertemu anak-anaknya, tapi disisi lain…..bagaimana harus memenuhi kebutuhan kami, yang bareng-bareng minta duit. Sudah terbayang berapa gaji yang beliau terima tiap bulan sebagai seorang guru di jaman itu. Sungguh suatu hal yang tak dapat dihitung secara matematis, karena pengeluaran yang tak sebanding dengan pemasukannya. Tapi itulah salah satu bukti kekuasaan Al-Mughni, Rabb Yang Maha Kaya. Jelas sudah intervensi Allah pada setiap hamba NYA yang gigih berjuang dan berusaha untuk dapat memberikan yang terbaik bagi anak-anak amanah NYA.  Dan kini, perjuangan itu telah membuahkan hasil. Kami semua berdelapan Alhamdulillah bisa menjadi orang yang insya Allah dapat berbagi manfaat dengan sesama, setidaknya untuk keluarga kecil kami masing-masing, untuk anak-anak kami, cucu-cucu mereka, ibu dan bapakku.

Hari ini, di detik ini, kembali terbersit dalam benakku, betapa bakti yang telah kutunjukkan pada beliau selama ini, sama sekali tak sebanding dengan perjuangan yang sudah beliau lakukan sepanjang hidupnya untuk anak-anaknya. Disaat aku menikmati jerih payah beliau, ternyata aku tak lagi punya kesempatan untuk membahagiakan beliau walau hanya sedikit. Tak terasa, bulir-bulir bening ini kembali deras mengalir. Aduhai bapak ibu, apa kiranya yang sedang kalian rasakan di sana? Dalam alam berbeda, dalam dimensi kehidupan yang lain? Adakah salah dan dosa kami anak-anakmu membuat kalian harus memikulnya di hadapan Sang Rabbul Izzati? Andaikan bisa, ingin rasanya aku memeluk kalian, untuk sekedar melepas rasa rindu yang mengharubiru. Penuh sesak dadaku menahan kerinduan akan peluk kasih yang sempat kurasakan saat kau lepas aku menuju Pulau Batam tempatku berjihad menunjukkan baktiku pada keluarga kecilku. Tak pernah aku bayangkan sebelumnya bahwa itu akan jadi pelukan terakhir bagiku, karena 2 tahun sesudahnya aku tak punya lagi waktu untuk sekedar menemani saat-saat dirimu menghadapi sakit, bahkan aku pun tak sempat mengantarkanmu ke peristirahatan terakhir, karena aku tak kebagian penerbangan pagi. Sungguh saat ini aku sedang sangat merindukan hangat pelukmu duhai ibuku tersayang…..

“Mother how are you today….
Here is a note from your daughter…
With me everything is okay….
Mother how are you today…..”
Hanya doa yang dapat kusampaikan untuk kalian berdua duhai bapak dan ibu…..Semoga Allah lapangkan tempat kalian beristirahat, Semoga Allah terangkan persinggahan sementara ini, dan Allah ringankan segala apa yang harus kalian pertanggungjawabkan sebagai khalifah NYA di dunia.
“Robbighfirli waliwalidayya warhamhuma kama robbayaani soghiiro”
Yaa Allah, ampunilah dosaku, dan dosa kedua orang tuaku, sayangilah mereka, seperti mereka menyayangiku diwaktu ku kecil…….

1 komentar:

  1. i miss you, mom... semoga Allah menempatkan kedua orang tua, di tempat yang mulia disisi Allah .... aamiin...

    BalasHapus