Mengisi hari pertama liburanku, Alhamdulillah setelah
selesai masak, aku punya banyak waktu untuk menuangkan isi hatiku lewat
tulisan. Setelah ku pencet setting wireless
network conection di netbook ku agar bisa masuk dalam jaringan WIFI di rumah, akhirnya netbook murahanku pun mendapatkan
sinyal, sesudah itu biasanya aku akan segera membuka google untuk mencari
berita apa saja yang sedang “in” dan cukup menarik perhatianku dalam berbagai
situs. Tapi entah kenapa kali ini aku tak tertarik untuk berselancar di dunia
maya. Aku lebih tertarik membuka file-file lama dan foto-foto dalam setiap
folder yang ada di drive D netbook ku. Begitu lancar tanganku meng-klik mouse
hingga sampai aku pada sebuah foto lama
keluarga besarku. Ya……foto lebaran terakhirku bersama Almarhum bapak.
Tepatnya ketika aku masih duduk dibangku kelas 4 SD, karena bapak meninggal
tidak sampai setahun sesudahnya, pas aku baru saja naik ke kelas 5 SD.
Tidak terasa, bulir-bulir bening mengalir membasahi kedua
pipiku. Bagai sebuah video, kehidupan masa kecilku tiba-tiba saja berputar
jelas dan nyata dalam benakku. Aku, seorang gadis kecil dengan 7 saudara yang
semuanya adalah kakakku. Kami adalah 8 bersaudara, 7 perempuan termasuk aku,
dan hanya 1 saja yang laki-laki, kakak keduaku. Keluargaku bukanlah keluarga
yang kaya, almarhum bapak adalah seorang karyawan Dinas Pendidikan dan ibuku seorang kepala sekolah sebuah SMP Negeri. Ketika bapak meninggal, baru 1
orang kakakku yang sudah berumah tangga. Otomatis ibu menjadi single parent
yang harus membesarkan kami, 7 orang
anaknya, 3 orang di Perguruan Tinggi (yang Alhamdulillah semuanya adalah PTN,
jadi agak murah biaya sekolahnya), 1 orang di SMA, 2 orang di SMP dan aku yang
masih SD. Begitu bapak meninggal, ibu
memutuskan untuk memindahkanku ke SD di kota tempat ibu bekerja bersama 2 orang
kakakku yang sudah lebih dulu pindah ke SMP
dimana ibuku menjadi kepala sekolah. Tinggallah kakakku dikota
kelahiranku sendirian, karena pada saat itu dia sudah kelas 3 SMA dan akan
menghadapi Ujian kelulusan. Berat tentunya buat dia jika harus beradaptasi
disaat mau kelulusan begitu.
Mulailah aku dan saudara-saudaraku menjalani hari tanpa
bapak. Walau pun saat itu aku tak begitu paham tentang arti sebuah kematian dan
kehilangan orang yang dicintai, namun jelas sekali aku melihat betapa sulitnya
ibu melalui hari-harinya. Tidak hanya
sulit secara ekonomi, tapi yang jelas lebih terasa adalah sulit secara psikologis, merampungkan
tanggung jawab pada anak-anak tanpa didampingi suami tercinta. Namun seiring bergulirnya waktu, aku melihat
sedikit demi sedikit ibu mulai tegar meneruskan perjuangan membesarkan 7 amanah
Allah yang masih membutuhkan bimbingannya. Ibu tak kenal lelah mencari uang untuk
menghidupi kami. Setelah ibu mutasi jabatan ke pinggiran kota kelahiranku, aku dan kedua kakakku pun kembali menempati
rumah kami yang dulu. Sedang ibu sendiri, nglaju naik bis ke tempat kerjanya
setiap hari. Berangkat pagi hari, dan
sore menjelang malam barulah beliau pulang.
Praktis waktu ibu untuk kami (aku dan kedua kakakku) hampir bisa
dikatakan tidak ada, karena malam setelah beliau di rumah, tentu istirahatlah
yang jadi pilihan karena lelahnya beraktivitas diluar seharian. Tugas
kerumahtanggaan memang lebih banyak diselesaikan oleh bu dhe ku yang ikut keluargaku sejak aku masih
belum sekolah dulu. Masak, makan, main, mandi, lebih sering aku lalui bersama
bu dhe ku ini. Jujur aku katakan, aku memang tak sepenuhnya dapat merasakan
kasih sayang ibu. Kesibukan beliau mencari uang agar kami bisa terus sekolah telah demikian menyita waktu ibu. Alhamdulillah,
karena kasih sayang Allah, tak satu pun dari kami anak-anaknya yang kemudian
melenceng dan menjadi anak yang bengal karena kurangnya perhatian ibu pada kami. Walau pun saat itu masih kecil, aku
bisa merasakan kebesaran jiwa, kesabaran, keihklasan dan kepasrahan ibu
menjalani hidup menularkan energi positif pada kami anak-anaknya. Tanpa dipaksa
atau diceramahi panjang lebar, Alhamdulillah kami semua sadar bahwa kami harus
belajar hidup prihatin agar bisa menjadi orang yang sukses. Jelas….tak mungkin
bagi kami bisa menyelesaikan kuliah jika tak mau hidup prihatin. Setiap
tahunnya ibu harus menguliahkan setidaknya 4 orang anak, karena memang usia
kami tidak terpaut jauh satu sama lain. Hanya
ketika aku sudah kuliah di tahun ke 3 sajalah ibu membiayai 3 orang, karena aku
memang anak bungsu. Tak bisa aku bayangkan, bagaimana perasaan ibu saat aku dan
kedua kakakku pulang akhir bulan meminta jatah uang bulanan ketika kami kuliah
dulu. Aku sangat yakin, disatu sisi beliau senang bertemu anak-anaknya, tapi
disisi lain…..bagaimana harus memenuhi kebutuhan kami, yang bareng-bareng minta
duit. Sudah terbayang berapa gaji yang beliau terima tiap bulan sebagai seorang
guru di jaman itu. Sungguh suatu hal yang tak dapat dihitung secara matematis,
karena pengeluaran yang tak sebanding dengan pemasukannya. Tapi itulah salah
satu bukti kekuasaan Al-Mughni, Rabb Yang Maha Kaya. Jelas sudah intervensi
Allah pada setiap hamba NYA yang gigih berjuang dan berusaha untuk dapat
memberikan yang terbaik bagi anak-anak amanah NYA. Dan kini, perjuangan itu telah membuahkan
hasil. Kami semua berdelapan Alhamdulillah bisa menjadi orang yang insya Allah
dapat berbagi manfaat dengan sesama, setidaknya untuk keluarga kecil kami
masing-masing, untuk anak-anak kami, cucu-cucu mereka, ibu dan bapakku.
Hari ini, di detik ini, kembali terbersit dalam benakku,
betapa bakti yang telah kutunjukkan pada beliau selama ini, sama sekali tak sebanding
dengan perjuangan yang sudah beliau lakukan sepanjang hidupnya untuk
anak-anaknya. Disaat aku menikmati jerih payah beliau, ternyata aku tak lagi
punya kesempatan untuk membahagiakan beliau walau hanya sedikit. Tak terasa,
bulir-bulir bening ini kembali deras mengalir. Aduhai bapak ibu, apa kiranya
yang sedang kalian rasakan di sana? Dalam alam berbeda, dalam dimensi kehidupan
yang lain? Adakah salah dan dosa kami anak-anakmu membuat kalian harus
memikulnya di hadapan Sang Rabbul Izzati? Andaikan bisa, ingin rasanya aku
memeluk kalian, untuk sekedar melepas rasa rindu yang mengharubiru. Penuh sesak
dadaku menahan kerinduan akan peluk kasih yang sempat kurasakan saat kau lepas
aku menuju Pulau Batam tempatku berjihad menunjukkan baktiku pada keluarga
kecilku. Tak pernah aku bayangkan sebelumnya bahwa itu akan jadi pelukan
terakhir bagiku, karena 2 tahun sesudahnya aku tak punya lagi waktu untuk sekedar
menemani saat-saat dirimu menghadapi sakit, bahkan aku pun tak sempat mengantarkanmu ke
peristirahatan terakhir, karena aku tak kebagian penerbangan pagi. Sungguh saat
ini aku sedang sangat merindukan hangat pelukmu duhai ibuku tersayang…..
“Mother how are you today….
Here is a note from your daughter…
With me everything is okay….
Mother how are you today…..”
Hanya doa yang dapat kusampaikan
untuk kalian berdua duhai bapak dan ibu…..Semoga Allah lapangkan tempat kalian
beristirahat, Semoga Allah terangkan persinggahan sementara ini, dan Allah
ringankan segala apa yang harus kalian pertanggungjawabkan sebagai khalifah NYA
di dunia.
“Robbighfirli
waliwalidayya warhamhuma kama robbayaani soghiiro”
Yaa Allah,
ampunilah dosaku, dan dosa kedua orang tuaku, sayangilah mereka, seperti mereka
menyayangiku diwaktu ku kecil…….
i miss you, mom... semoga Allah menempatkan kedua orang tua, di tempat yang mulia disisi Allah .... aamiin...
BalasHapus